TRIBUNNEWS.COM, BLITAR - Pelaksanaan sertifikasi massal dalam program Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria) di Kabupaten Blitar, kembali menyeret pejabat setempat.
Kali ini, Imam Ashari (59), Camat Gandusari, dan Munawir (54), mantan Kades Bendosewu, Kecamatan Talun, ditahan Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar, Kamis (14/1) siang.
Sebelumnya, kejaksaan telah menahan Pudji Dipo Utomo, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan dua panitia tanah redis atas bekas lahan Perkebunan Gambaranyar, Kecamatan Nglegok.
Yakni, Slamet Katiran (46), dan Sumarji (56), keduanya warga Desa Gambaranyar, Kecamatan Nglegok.
Penahan dua orang itu setelah berkas perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan oleh Polres Blitar.
Bersamaan pelimpahan berkasnya itu, Kamis (14/1) siang itu, keduanya langsung ditahan.
Itu setelah keduanya dinyatakan sehat oleh tim medis RSUD Mardi Waluyo, Kota Blitar.
"Penahanan dua orang itu, setelah dinyatakan sehat secara medis. Itu terkait kasus dugaan pungli dalam pembiyaan ajudikasi atau sertifikat massal," kata Hargo Bawono SH, Kasi Intel Kejaksaan Blitar.
Penahanan itu sepertinya tak diduga sebelumnya oleh kedua tersangka.
Sebab, Imam sendiri saat datang ke kejaksaan, dengan mengenakan baju batik, sedang Munawir mengenakan baju biasa. Namun ketika dikonfirmasinya, keduanya terdiam.
Ditambahkan Hargo, kasus itu sebenarnya berlangsung pada 2007 lalu.
Saat itu Imam belum menjadi camat, melainkan baru menjabat Lurah Talun, sedang Munawir jadi Kades Bendosewu.
Saat keduanya menjabat itu, ada program sertifikasi massal di Desa Bendosewu dan Kelurahan Talun.
"Saat itu ada sekitar 1.600 warga dari dua desa itu, yang ikut program ajudikasi tersebut. Sebenarnya, targetnya 5.000 sertifikat, namun hanya diikuti segitu sehingga tak memenuhi target," ujar Hargo.
Pada praktiknya, papar Hargo, per sertifikat dipungut Rp 500 ribu, dengan dalih buat biaya administrasi. Yang memungut adalah panitia ajudikasi.
Selang tiga bulan kemudian, warga memprotesnya, sehingga sebagian uang itu dikembalikan. Yakni, dikembalikan Rp 305 ribu per sertifikat.
"Warga memprotes karena mereka mendengar, bahwa program itu gratis namun kok masih dipungut. Akhirnya, sebagian uang warga itu dikembalikan oleh panitia," paparnya.