Laporan Wartawan Tribun Bali, I Made Ardhiangga
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Margriet Megawe membacakan nota pembelaannya di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin (15/2/2016). Ia menangis sesenggukan.
Sebelum membacakan nota pembelaannya, terdakwa kasus pembunuhan Engeline itu meminta izin majelis hakim dan semua orang yang hadir dalam persidangan. Berikut sekelumit nota pembelaan Margriet.
"Pada Sabtu, 16 Mei 2016, tidak ada terlintas di firasat saya sedikit pun untuk terakhir kalinya melihat keceriaan dan kebersamaan yang sudah saya jalani dengan anak yang saya sayangi. Kebahagian itu Sirna setelah dalam 7 tahun bersama untuk selamanya, karena dibunuh dengan cara amat kejam.
Pagi dia masih nonton TV dan makan indomie sebelum keluar dan meminta izin menyerahkan pensil kepada Agus Tay. Itulah saat terakhir saya melihat anak saya.
Setelah menunggu lama saya memanggil Engeline tidak kunjung menyahut. Saat itu saya berpikir Engeline main ke rumah tetangga. Agus saat itu di bawah pohon mangga mendengar saya memanggil Engeline tetapi dia diam saja. Dia tidak memberi keterangan di mana Engeline, meski dia tahu saya mencari Engeline.
Saya mencari Engeline ke tetangga, tidak ada, baru saya menanayakan kepada Agus dan dia jawab saya kira sudah kembali ke ibu. Saya panik saya kira telah diculik. Saya tidak tahu Engeline sudah dibunuh secara keji. Saya tidak sedikit pun mencurigai Agus Tay yang ada di rumah saya.
Dan tidak mencurigai dia, meski dia tidak mau ikut mencari Engeline. Dan dari itu, pencarian saya dianggap drama. Pedih hati saya. Ibu pasti mencari anaknya kalau dipanggil tak datang. Berjam-jam dicari tapi tidak ditemukan. Ditengah keputusasaan saya saya menelepon paranormal, kerabat, polsek dentim, klian adat. Itu bukan drama, itu naluri ibu agar dapat dipertemukan dengan anaknya secepat mungkin.
Kematian anak saya bukan akhir penderitaan saya. Namun awal mula penderitaan saya. Dan dimulai dengan kekejian lain, yaitu fitnah dan tuduhan pembunuhan berencana dengan dituntut seumur hidup. Semoga persidangan melihat beruntunnya kekejian yang saya terima. Saya percaya setelah persidangan berjalan dengan baik, hakim merasakan betapa beratnya fitnah yang ditimpakan kepada saya.
Pemeriksaan dan perbuatan tidak menyenangkan penyidik saya rasakan. Berat saya terima ini. Hati saya menjerit, kenapa saya diperlakukan seperti ini Tuhan. Saya kehilangan anak saya, saya dituduh membunuh, saya ditahan, apa rencanamu Tuhanlku kepadaku, betapa berat. Saya percaya Tuhan adil. Tuhan yang adil akan mengembalikan keadilan berlipatganda kepada saya.
Sebagai manusia biasa saya merasa sedih, menangis dan terpukul. Masuk tahanan tidak pernah terbayang dalam kehidupan saya. Tidak pernah terbersit sebelumnya. Saya menangis.
Sering timbul tanya dalam hati saya, apa saya salah. Agus waktu ditangkap sudah mengakui pembunuhan sadisnya. Dari hati terdalam saya percaya Tuhan tidak akan meninggalkan saya, menemani saya di persidangan saya. Saya belajar sabar dan ikhlas. Saya tidak menaruh dendam kepada penyidik, benci kepada JPU. Apa yang disampaikan JPU dalam surat tuntutannya adalah sama sekali tidak benar. Saya hanya berdoa agar JPU tidak sampai mengalami kejadian seperti yang saya alami saya ini kejinya difitnah.
Saya percaya majelis hakim telah melihat fakta yang sebenarnya. Saya doa dan berharap agar apa yang saya alami tidak perlu lagi terjadi kepada orang lain, terutama kepada JPU.
Sehingga masyarakat tahu fakta bukan rekayasa dan fitnah. Tuhan telah merancang rencana damai sejahtera. Hanya kepada Tuhan saya mohon keadilan melalui majelis hakim juga. Berupa keputusan seadil-adilnya.
Saya mengampuni mereka yang telah menuduh dan menempatkan saya di kursi persidangan ini. Ampunilah mereka ya Tuhanku."
Margriet bersikeras tak bersalah dalam kasus pembunhan anak angkatnya tersebut. Ia meminta Pengadilan Negeri Denpasar menunjukkan keadilan seadil-adilnya.
Dia tidak menyimpan dendam terhadap semua orang yang menyudutkannya dalam kasus ini. Margriet tak benci terhadap jaksa penuntut umum dan orang-orang yang menyudutkannya.