News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Seminar Kartini di Jogja: Wanita Harus Muncul dalam Karakter dan Sistem Politik!

Editor: Robertus Rimawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para pembicara dalam seminar “REFLEKSI HARI KARTINI : MERAWAT IBU BUMI INDONESIA”, di Jogyakarta, Rabu (27/4) – dari kiri ke kanan: Fuska Sani Evani (Moderator), Dian Wisdianawati M.Si. – Ketua Granita, Dra. Sri Sumijati M.Si (Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Soegijapranata, Semarang), Umilia Rokhani S.S, MA (Dosen ISI Yogyakarta ) dan DR. Hastanti Widhy Nugroho M.Hum (Dosen Fakultas Filasafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta).

TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Kegalauan dan kekacauan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terjadi karena Indonesia mempraktikkan sistem nilai politik maskulin (kekuasaan).

Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang tidak berkarakter, egois, autis, tak terawat, tak terpelihara, tak memiliki rasa peduli dan tumbuh dalam mindset persaingan.

Oleh karenanya, untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai Rumah Bersama, adalah penting menggantikan sistem nilai politik maskulin menjadi sistem nilai politik feminis (reproduksi).

BACA JUGA: Seminar di Jogja: Menyatukan Penggalan Puzzle Warisan Ibu Kita Kartini

Demikian kesimpulan dari seminar di Yogyakarta, Rabu (27/4/2016), “Refleksi Hari Kartini: MERAWAT IBU BUMI INDONESIA”, yang menghadirkan sebagai pembicara Dian Wisdianawati MSi – Ketua Granita, Dra Sri Sumijati MSi (Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Soegijapranata, Semarang).

Selain itu ada juga Umilia Rokhani SS MA (Dosen ISI Yogyakarta ) dan DR Hastanti Widhy Nugroho MHum (Dosen Fakultas Filasafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta).

Seminar yang dipandu Fuska Sani Evani (wartawan), diselenggarakan oleh Lembaga Laboratorium Bahasa Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) dan Gerakan Wanita Nusantara (Granita).

Oleh Sri Sumijati dikatakan, jika dilihat dari karakter mahasiswa sekarang, para pemimpin bangsa seharusnya merasa prihatin.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukannya, para mahasiswa dirasa kurang memiliki sopan santun tidak hanya dalam komunikasi tetapi juga berprilaku.

Bukan hanya itu, kecenderungan lain seperti bersifat hedonis, menginginkan segala sesuatunya serba instan dan asyik dengan dirinya sendiri juga terekam jelas.

“Perilaku para mahasiswa sekarang mirip anak autis yang mengedepankan sifat egois dan asyik dengan dirinya sendiri. Tidak ada alat bermain yang diminati para mahasiswa kecuali gadget."

"Mereka sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan dunia di luar mereka. Untuk membaca pun mereka sulit sekali. Untuk mengatasi ketimpangan ini, seharusnya bapak dan ibu harus terlibat dalam dunia mereka,” ujar Sri Sumijati dalam rilis yang masuk ke redaksi Tribunnews.com.

Namun demikian, Dian Wisdianawati mengatakan bahwa keterlibatan yang harmoni antara bapak dan ibu pada jaman sekarang sangat sulit dilakukan.

Anak-anak zaman sekarang sulit mencari figur ayah atau ibu di dalam rumah mereka.

Rumah hanya sekedar tempat istirahat dan bukan sebagai roh dari kehidupan mereka.

Hal ini sangat mungkin terjadi karena, peran wanita yang seharusnya sebagai tulang rusuk diganti menjadi tulang punggung keluarga.

Jika menginginkan Indonesia sebagai Ibu Bumi yang memberikan kehidupan bagi rakyatnya, peran keluarga harus muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Dan, ini hanya dapat dilakukan jika kodrat masing-masing muncul dalam sosok seorang ayah ataupun seorang ibu.

Akan terjadi ketimpangan jika kodrat sebagai ayah atau ibu dirangkap salah satu pihak.

“Jika Indonesia adalah sebuah keluarga besar, harus muncul sosok ayah dan ibu dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengalami keseimbangan kehidupan ketika kita sebagai rakyat Indonesia dapat menunjukkan siapa Ibu Bumi yang memberikan kehidupan dan Bapa Angkasa yang memberikan udara untuk bernafas,” ujar Dian Wisdianawati.

Kekacauan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menurut Hastanti Widhy Nugroho terjadi karena Indonesia belum menjadi rumah bersama bagi semua agama, suku, ras, golongan ataupun kelompok.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini