Hal ini disebabkan karena sistem nilai politik yang digunakan berdasarkan politik maskulin yang melihat politik sebagai alat kekuasaan.
Mindset politik sebagai alat kekuasaan inilah yang kemudian memicu persaingan.
“Seharusnya sistem nilai politik yang digunakan adalah sistem politik feminim (reproduksi). Sistem reproduksi manusia terjadi ketika seorang gadis mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan membesarkan anak."
"Dan masing-masing tahapan itulah yang menunjukkan bahwa sejarah kehidupan manusia itu dimulai dari wanita,” ujar Hastanti Widhy Nugroho.
Menurut Widhy, hidup matinya sebuah generasi bangsa sangat tergantung dari eksistensi para wanitanya.
Sistem reproduksi itulah yang merupakan perbedaan kodrati antara pria dan wanita. Sehingga sistem reproduksi itu mempngaruhi cara berpikir dan bertindak “ala wanita” tentang bagaimana sakitnya haid, melahirkan, membesarkan anak dll.
“Politik maskulin itu ujudnya adalah kekuasaan dan persaingan.
Sementara politik reproduksi ujudnya adalah merawat, melahirkan, membina dan melindungi."
"Sejak haid pertama, wanita itu selalu dalam posisi memikirkan orang lain yakni memberi kehidupan, terutama ketika mulai hamil."
"Dan seharusnya, para politisi Indonesia harus menggunakan materna thinking, berpikir secara seorang wanita,” tegas Widhy.
Hal yang senada juga diuraikan oleh Umilia Rokhani yang mengatakan bahwa ibu itu merupakan madrasah pertama jika boleh diibaratkan.
Dan, tugas ibu secara kodrat tidak bisa digantikan oleh pria.
Pola berpikir ibu atau wanita itu sangat berbeda sehingga substansinya harus dimengerti.
Menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama hanya bisa terwujud ketika peran kaum wanita sebagai kodrat muncul dalam karakter dan sistem politik.(*)