TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaringan Pemantai Pilkada Indonesia Sulawesi Tenggara meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
"Pemungutan suara ulang pada Pilkada Kabupaten Muna didapati banyak bukti oleh Jaringan Pemantau Pilkada Indonesia sarat dengan kecurangan dan sangat tidak berkualitas," ujar Koordinator JPPI Sulawesi Tenggara, Chaeruddin Affan dalam siaran pers yang diterima wartawan, Rabu (11/5/2016).
Chaeruddin mengungkapkan kecurangan tersebut dimulai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilukada ulang yang dipaksakan dengan hanya adanya dua Pemilih Ganda pada Pilkada 9 Desember Kabupaten Muna.
Keputusan ini janggal dan tidak masuk akal. Dua Pemilih ganda itu, sebenarnya tidak ada pengaruhnya untuk kemenangan 33 suara oleh pasangan. Baharudin – Lapili terhadap pasangan Rusman Emba- Malik Ditu.
Temuan JPPI kata Chaeruddin, diantaranya, adanya temuan 277 tambahan pemilih pada PSU 22 Maret 2016,adanya pemilih ganda yang lebih masif, adanya mobilisasi pemilih dari luar Kabupaten Muna yang lebih masif, penghalangan ratusan pemilih, money politic, intimidasi, kekerasan, dan ancaman pembunuhan terhadap TIM simpatisan paslon No urut 3, PANWAS dan aparat Kepolisian yang tidak netral.
Lebih jauh Chaeruddin memaparkan, Tanggal 19 April 2016 MK secara sepihak membatalkan jadwal dan agenda sidang lanjutan untuk pemeriksaan saksi-saksi sebagaimana telah diumumkan sebelumnya melalui website/portal resmi MK yaitu tanggal 25 April 2016 setelah sebelumnya pembatalan tersebut beredar di media sosial yang diposting oleh TIM sukses pasangan calon No. 1.
Namun demikian, Affan mengemukakan bahwasanya setelah sekian lama sengketa Pilkada Muna menggantung tanpa kejelasan, akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan jadwal sidang tanggal 12 Mei 2016 dengan agenda pengucapan putusan akhir.
"Ini menjadi momentum penting dan berharga bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat dengan membatalkan putusan PSU Kabupaten Muna," katanya.
Jika tidak, kata Chaeruddin, Mahkamah Konstitusi bisa menjadi penyulut instabilitas dan desintegrasi bangsa dalam menghadapi PILKADA tahun 2017, 2018, PILEG, dan PILPRES tahun 2019.
Chaeruddin menambahkan karena kecurangan dan pelanggaran pelaksanaan PSU tanggal 22 Maret 2016 lebih parah dan masif dibanding pemungutan suara tanggal 9 Desember 2015, maka JPPI mendesak MK untuk membatalkan hasil PSU dan dikembalikan pada hasil tanggal 9 Desember 2015 dengan membatalkan 2 suara pemilih ganda di TPS 4 Kelurahan Raha-1 dan TPS 4 Kelurahan Wamponiki dan 5 suara tidak sah di TPS 1 Desa Marobo.
“Atau setidak-tidaknya dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 3 TPS (TPS 4 Kelurahan Raha-1, TPS 4 Kelurahan Wamponiki, dan TPS 1 Desa Marobo), ” katanya.