TRIBUNNEWS.COM, JATINANGOR - Bagi alumnus dan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjajaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, nama Bang Jack identik dengan kejujuran, kebaikan, dan kerendahan hati.
Predikat demikian tak lepas dari tanggung jawabnya selama menjaga kendaraan mereka.
Bang Jack memang seorang juru parkir di Fikom Unpad.
Ia sudah menjadi tukang parkir di kampus itu sejak 1992 atau sudah 24 tahun.
Pemilik nama lengkap Undang Suryaman (40) ini begitu tersohor di kalangan mahasiswa Unpad.
Ternyata ia juga mendirikan TK Nafilatul Husna Ataullah dan Taman Pendidikan Alquran (TPA) Raudatul Jannah di rumahnya di Kampung Babakan Loa RT 03/12, Desa Rancaekek Kulon, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
TK dan TPA tersebut ia dirikan dengan hanya modal Rp 300 ribu pada 2012 silam.
Dana tersebut adalah uang yang dia kumpulkan belasan tahun sebagai tukang parkir.
Semula lokasi belajar mengajar TK dan TPA itu di Masjid Raudatul Jannah karena Bang Jack tak memiliki tempat.
Pada 2015, dia memutuskan mengontrak sebuah bangunan yang tak jauh dari rumahnya.
"Ternyata enggak kebayar (uang kontraknya). Akhirnya saya bicara dengan istri dan mertua untuk memindahkan sekolah ke rumah."
"Jadi satu di rumah mertua, satu di rumah saya karena berdekatan. Akhirnya disetujui," kata ayah dari empat anak tersebut kepada Tribun Jabar di kediamannya, Rabu (9/11/2016).
Jack mendirikan TK dan TPA tersebut tak lepas dari "balas dendamnya" sewaktu kecil.
Ia satu dari jutaan rakyat Indonesia yang putus sekolah akibat tak memiliki biaya melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP.
Kenangan itulah yang membuat Jack ingin mendirikan TK dan TPA.
Ia berkehendak agar anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah sekarang bisa lebih cerdas dan pintar.
Tidak bernasib seperti dirinya.
Ilmu soal pendidikan ia dapat dari beberapa mahasiswa Unpad.
Ia memang sering bertukar pikiran dan mendapat pelajaran berharga dari keakrabannya bergaul dengan mahasiswa yang berteman dekat di kampus.
"Walaupun saya putus sekolah, sejak jadi tukang parkir di Unpad saya banyak bergaul dengan mahasiswa. Saya belajar tentang pendidikan dari mereka. Maka saya sekarang bisa buat TK dan TPA ini," kata suami Yani Nopitasari ini.
Di TK dan TPA yang ia dirikan, muridnya sudah mencapai 180 orang.
Murid di TK berjumlah 60 orang, siswa TPA 120 orang.
Sebanyak 75 persen muridnya berasal dari keluarga pas-pasan.
Dia pun menggratiskan pendidikan bagi yang tidak mampu.
Pengajar TK sekarang berjumlah empat orang, termasuk istri Bang Jack.
Pendidik TPA berjumlah delapan orang yang merupakan murid mengajinya.
Sekolahnya itu sudah menerapkan kurikulum karena menginduk kepada Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI) Jawa Barat.
Adapun izin operasionalnya masih dalam proses.
Jam belajar di TK mulai pukul 08.00 hingga 11.00.
Anak-anak TPA mulai belajr pukul 15.00 hingga 17.30.
Ada pula kegiatan mengaji bagi remaja pelajar SMP dan SMA pukul 18.30 hingga 20.30.
Bang Jack sendiri yang mengajar anak-anak itu membaca Alquran.
"Jadi ini masih terkendala tempat. Waktunya dibagi-bagi. Untuk tempat saja, saya sampai bongkar kamar tidur. Nah, saya mengajar ngaji saja setelah pulang dari Unpad," jelas dia.
Seiring waktu, banyak yanng datang memberi bantuan peralatan mengajar.
Mulai dari meja, kursi, dan buku bacaan.
Sebelumnya Bang Jack hanya menanfaatkan barang dan alas seadanya bagi murid-murid.
Bahkan dia sekarang membuka perpustakaan umum.
Buku-bukunya berasal dari hasil bantuan beberapa donatur.
Judul buku-buku tersebut mulai bagi siswa TK hingga mahasiswa.
Ratusan buku berbagai judul dia simpan di rak hasil buah tangannya di dalam rumah.
Perjalanan mendirikan sekolah tersebut tak lepas dari suka dan duka.
Juru parkir ini sempat mendapat cibiran dari beberapa orang atas tekadnya mendirikan sekolah di tengah-tengah impitan ekonomi.
Ia mengabaikannya.
Bang Jack lebih memilih perasaan bahagia yang datang melihat para siswa antusias belajar di sekolahnya.
"Sering saya dicibir, orang miskin kok bikin sekolahan. Orang putus sekolah kok bikin sekolah. Abdi mah lempeng saja (saya sih tetap saja) karena memang ini tekad saya. Dorongan keluarga dan orangtua siswa juga yang membuat saya bisa bertahan," paparnya.
Bang Jack sering merasa sedih melihat murid TK dan TPA berdesak-desakan sambil bercucuran keringan.
Ruangan yang menjadi kelas itu memang sempit, bahkan panas.
Ia bahkan beberapa kali secara berat hati menolak calon siswa yang ingin mengenyam pendidikan di sekolahnya.
"Saya pernah menolak 10 siswa karena sudah tidak menampung lagi. Kasihan kan kalau anak-anak sampai belajar di luar rumah. Ukuran kelas di rumah cuma 5 x 4 meter. Kalau di mertua 7 x 3 meter. Sudah enggak kondusif buat nambah siswa lagi," kata dia.
Jack berharap selanjutnya dapat memiliki tempat yang besar dan berkapasitas banyak.
Bisa menampung murid-murid yang ingin belajar di sekolahnya.
Dia masih bertahan menggunakan fasilitas seadanya di rumah karena terkendala biaya. (tribunjabar/ragilwisnusaputra)