TRIBUNNEWS.COM, KUPANG - Provinsi NTT per September 2016 masuk dalam peringkat ketiga untuk penduduk miskin se-Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. NTT menduduki 22,01 persen dari 1.150, 08 ribu penduduk.
Kepala BPS NTT, Martije Pattiwaellapia ketika menggelar Jumpa Pers di Aula Rapat Kantor BPS NTT, Selasa (3/1/2016), mengatakan penduduk miskin di NTT mencapai 21,01 persen dari sekitar 5, 2 juta penduduk.
Hal ini menjadi persoalan dan membutuhkan kerja keras pemerintah daerah. Sebab ini merupakan masalah yang kompleks maka diperlukan kerja sama lintas sektor.
Ia menjelaskan jumlah penduduk miskin di NTT pada September 2016 sebesar 1.150, 08 ribu orang (22,01 persen) meningkat sekitar 160 orang disbanding dengan penduduk miskin pada Maret 2016 yang berjumlah 1.149,92 ribu orang (22,19 persen).
Berdasarkan daerah tempat tinggal, lanjutnya, selama periode Maret 2016 – September 2016, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan menurun sebanyak 300 orang (dari 1.037,90 ribu orang menjadi 1.037,60 ribu orang).
Dan untuk perkotaan mengalami kenaikan sebanyak 460 orang (dari 112, 02 ribu orang menjadi 112, 48 orang).
Periode Maret 2016-September 2016, Garis Kemiskina naik sebesar 1,26 persen. Yaitu dari Rp 322.947 per kapita per bulan pada Maret 2016 menjadi Rp 327.003 per kapita per bulan pada September 2016.
Dikatakan lebih lanjut, peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan data yang diperoleh, NTT berada di urutan ketiga penduduk miskin setelah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Ketika dihubungi Pos Kupang per telepon, Kepala BPS NTT, Ny Maritje menyampaikan BPS tetap membantu memotret kondisi kemiskinan di NTT.
“Jadi konsep kita tentang kebutuhan dasar hidup makanan maupun non makanan. Ketika seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, dikategorikan miskin. Peranan BPS yaitu akan terus memantau, memotret kondisi kemiskinan perekonomian di daerah ini. perlu juga kerja sama semua pihak untuk mengetaskan kemiskinan,” tuturnya.
Menurutnya harus ada tim yang bisa bekerja sama dengan SKPD-SKPD lintas sektor utnuk menjalankan program pemerintah.
“Harus bias mensosialisasikan juga dengan masyarakat. Saya lihat untuk kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan masih apa adanya. Memang perlu kerja keras semua pihak. BPS juga tetap bantu untuk melihat kualitas data ke depannya,” tuturnya.
Kata Maritje pada 2013/2014 NTT berada di urutan ke-4 Provinsi dengan penduduk miskin namun ketika di 2015 naik lagi ke peringkat 3.
“Mau turunkan lagi agak susah, apalagi kebutuhan pokok pada mahal. Punya hasil bumi banyak tetapi miskin, apa ada yang salah nanti akan dilihat seperti apa penanganan pemda terhadap masyarakat NTT. Mudah-mudahan tahun depan bisa lebih baik lagi. Bagaimana dengan program pengetasan kemiskinan bias menekan angka kemiskinan dan mengatasi kesenjangan dengan orang miskin, agar miskinnya seimbang. Tidak ada yang miskin sekali tetapi miskinnya sama rata."
Ia juga menjelaskan komoditi yang member sumbangan besar terhadap garis kemiskinan September 2016 ialah baik di perkotaan maupun pedesaan ialah beras, kemudian diikuti dengan rokok kretek filter.
“Masyarakat tidak makan tidak apa-apa yang penting kereta apinya lancar terus. Ini menjadi pola konsumsi yang kurang bagus. Biar rokok harganya mahal tetap merokok dengan pendapatan rendah. Padahal masyarakat dengan penghasilan rendah harus memprioritaskan kebutuhan mendasar dibandingkan kebutuhan lainnya,” tambahnya. (yen)