Laporan Wartawan Surya, Rahadian Bagus
TRIBUNNEWS.COM, PONOROGO - Dubes Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, berkunjung ke Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Rabu (26/4/2017).
Dia mengaku kedatangannya ke pesantren-pesantren di Jawa Timur, satu di antaranya Gontor, untuk mengkaji dan belajar bagaimana cara Indonesia mengatasiĀ ekstrimisme.
"Belajar, saya di sini ingin belajar. Indonesia lebih berhasil untuk mengendalikan ektrimisme," kata Moazzam saat ditemui wartawan Surya pada Rabu (26/4/2017) malam.
Baca: Di Masjid Jami Gontor, Dubes Moazzam Berkisah Hidupnya dari Pakistan ke Inggris
Baca: Penasaran, Dubes Inggris Selalu Terngiang Nama Pondok Gontor
Dikatakannya, meski di Indonesia masih terdapat kelompok ekstrimis namun menurutnya Indonesia lebih berhasil dibandingkan negara-negara lain.
"Jadi alasan kunjungan saya berkunjung ke pondok pesantren untuk mengkaji bagaimana dan kenapa Indonesia lebih berhasil. Apa dalam pelajarannya," kata pria berdarah Pakistan ini.
Selain itu, dia juga tertarik mempelajari bagaimana membuat hubungan lembaga Islam di Inggris menjadi erat, seperti lembaga Islam di Indonesia.
Hampir 50 persen penduduk Inggris beragama Islam dan 10 persen penduduk London beragama Islam. Sebagian besar Muslim di Inggris berasal dari negara yang mengalami konflik atau masalah lain.
"Kalau mereka melihat Indonesia bisa maju maka mereka akan terinspirasi," ujar Moazzam yang dikenal sebagai Dubes Inggris Muslim pertama untuk Indonesia ini.
Pembantu Rektor I Universitas Darussalam Gontor, DR Hamid Fahmi Zarkasyi, mengatakan Muslim di Inggris sebagian besar imigran Bangladesh, Pakistan, dan India.
Keberagaman dan sikap keagamaan Muslim imigran di Inggris yang berasal dari Bangladesh, Pakistan, India dengan Muslim di Indonesia sangatlah berbeda.
Dia mencontohkan larangan perempuan menjadi pembaca Alquran di India, Bangladesh, Pakistan. Begitu juga dengan sikap muslim di Bangladesh, Pakistan dan India menghadapi non-Muslim sangat berbeda.
"Jadi yang begini-begini di Indonesia kita kan sudah bertahun-tahun. Hidup bersama non-Muslim, merdeka pun ada peran dari non-Muslim," ungkap dia.
Selain itu, lanjut dia, toleransi di Indonesia juga sangat luar biasa. Meski mayoritas penduduk di Indonesia muslim namun tetap toleran dengan tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Muslim.
Kehidupan sosial di negara Indonesia adalah kehidupan yang pluralistik dan majemuk. Kemajemukan itu, kata Fahmi, menghasilkan tata cara berkehidupan sosial antara suku, ras, dan agama yang berbeda.
Muslim di Indonesia memiliki kedewasaan dalam bersikap dengan non-Muslim. Muslim di Indonesia tidak bisa diarahkan ke sesuatu yang berlebihan, seperti misalnya dalam Pilkada DKI 2017 lalu.
"Di sinilah Indonesia itu sebenarnya lebih fleksibel, dalam menghadapi pluralitas. Dan ini ternyata menurut Duta Besar Inggris, tidak ada di kalangan orang Islam di Inggris," jelas Hamid.