“Upaya damai sudah sering kami lakukan, baik di tingkat desa maupun di kantor camat. Tetapi, mereka bersikeras melaporkan masalah ini ke pengadilan,” ujar Yusran.
Sebagai seorang anak, Yusran merasa simpati terhadap orangtua kandungnya akibat ulah anak dan menantu yang kompak menggugat sang ayah. Bahkan dia menyatakan siap membantu mendampingi ayahnya dalam persidangan berikutnya.
Dia juga optimis orangtuanya bisa memenangkan perkara meski hanya berbekal barang bukti berupa surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) dan daftar himpunan ketetapan pajak (DHKP).
“Kami punya bukti surat SPPT dan DHKP, sementara pengugat enggak ada bukti sama sekali. Dia hanya mengandalkan surat palsu yang terbit tanggal 20 Oktober 2016,” ungkapnya.
Dibantah
Sementara itu, kuasa hukum Arsad, Arifudin, mengatakan, kliennya melaporkan tergugat karena melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut dia, tanah seluas 3.000 meter persegi yang terletak di Dore Pajakai, watasan Desa Tawali, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, yang dikalim milik penggugat kini telah dikuasi oleh tergugat.
"Yang kami tuntut adalah pengembalian obyek yang menjadi sengketa," kata Arifudin saat dihubungi melalui ponsel, Rabu malam.
Menurut kliennya, lanjut Arifudin, pada tahun 1979, obyek sengketa merupakan tanah kosong milik negara. Bupati pada saat itu memerintahkan kepala desa setempat agar tanah-tanah kosong milik negara dibagikan kepada masyarakat.
"Penggugat sendiri mengajukan permohonan untuk mendapatkan bagian atas tanah negara tersebut. Atas permohonan penggugat, kepala desa saat itu menyerahkan tanah seluas 3.000 meter persegi. Setahun kemudian, penggugat melakukan pemagaran dan penanaman pohon di atas lahan-lahan yang diperolehnya," tuturnya.
Sekitar tahun 1984, lanjut Arifudin, penggugat kemudian membuka usaha penggilingan padi di atas tanah obyek sengketa. Namun seiring waktu, penggugat juga berupaya mengajukan permohonan pengukuran untuk penerbitan sertifikat hak milik. Meski saat ini baru pengukurannya saja yang ditelah dilakukan oleh petugas BPN Kabupaten Bima.
"Setelah penggugat membangun usaha penggilingan dan beroperasi, tergugat kemudian mendatangi penggugat meminta izin untuk menempati sebagian tanah untuk ditanami ubi jalar. Sebagai menantu dari tergugat, penggugat pun mengijinkan saat itu," tutur dia.
Namun beberapa tahun kemudian, lanjut Arifudin, secara diam-diam tergugat justru ingin menguasai tanah obyek sengketa.
"Tergugat melakukan pemagaran. Tergugat juga membangun rumah panggung enam tiang untuk tempat tinggal di atas lahan sengketa," ujarnya.
"Tergugat bahkan telah melegalkan status penguasaan tanah dengan cara mendaftarkan SPPT atas nama tergugat. Kemudian tergugat menutup paksa operasional penggilingan padi milik penggugat hingga menyebabkan terhentinya operasi penggilingan," tambahnya.