TRIBUNNEWS.COM, AMOJOKERTO - Tepat pukul 16.21 WIB kemarin, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keluar dengan membawa beberapa berkas.
Ada tiga buah koper yang sebelumnya dibawa dan ditambah dua tas jinjing petugas buru-buru memasukkan ke dalam mobil.
Sekretaris DPRD Kota Mojokerto Mokhamad Effendi yang turut mendampingi mengatakan berkas yang dibawa oleh penyidik adalah berupah buku tata tertib (tatib), buku Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2017, serta dokumen pembangunan PENS.
Dari ruang sekretaris dewan, penyidik KPK mengambil buku tata tertib (tatib) serta catatan hasil dengar pendapat atau hearing terkait pembangunan PENS, sedangkan di ruang sekretariat Effendi mengambilkan buku APBD 2017.
Untuk di ruang pimpinan, penyidik KPK mengambil sesuatu dokumen.
"Di ruang pimpinan, mereka mengambil dokumen. Tapi tidak jelas dokumen apa itu, karena waktu saya tanya mereka tidak menjelaskannya," kata Effendi usai penggeledahan di kantor DPRD Kota Mojokerto.
Di sini, tim penyidik KPK hanya mengambil berkas dan dokumen. Serta server rekaman CCTV yang ada di kantor DPRD Kota Mojokerto.
"Mereka cuma mengambil dokumen saja, tidak ada uang sama sekali yang diambil. Sama alat rekaman CCTV," jelasnya.
Pasca penggeledahan itu, anggota DPRD Kota Mojokerto bisa kembali beraktivitas. Sebab tiga ruang yang sebelumnya disegel, telah dibuka kembali.
"Senin (19/6/2017) tetap bisa melakukan paripurna dengan agenda HUT Kota Mojokerto, tidak ada yang lain," imbuhnya.
Disinggung soal kekosongan tiga pimpinan DPRD Kota Mojokerto, Effendi menjelaskan bahwa saat ini dari partai PDI-P dan PAN tengah rapat untuk menentukan siapa yang nantinya akan memimpin rapat paripurna. Hal ini sesuai dengan peraturan di DPRD.
"Ada pasal yang menyatakan apabila ada pimpinan uang berhalangan maka yang bisa menunjuk untuk menggantikannya adalah partai yang memiliki kursi paling besar disana. Sekarang PDI-P dan PAN sedang rapat untuk menentukan siapa yang bisa ditunjuk besok," terang Effendi.
Ketua Dewan Perwakilan Cabang PDI-P Kota Mojokerto Febriana Meldyawati membantah bila uang suap senilai Rp 300 juta, yang diterima oleh Ketua DPRD Kota Mojokerto akan masuk ke dalam partai.
Menurutnya, tindakan tersebut murni urusan pribadi Purnomo tanpa ada sangkut pautnya dengan partai.
"Tidak ada aliran yang masuk ke PDI-P. Partai kita dibiayai dana yang jelas. Pertama dari Banpol juga iuran fraksi. Tolong dibedakan yang namanya pribadi dan organisasi. Tentu yang dilakukan Pak Pur (Purnomo) untuk pribadi bukan partai," tegasnya.
Purnomo merupakan Wakil Ketua DPC PDI-P Kota Mojokerto yang terjerat kasus dugaan korupsi kasus pengalihan anggaran dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mojokerto tahun 2017.
Ia merupakan Ketua DPRD Kota Mojokerto yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Sabtu (18/6/2017) tengah malam.
Baca: KPK Akhirnya Tetapkan Ketua DPRD Kota Mojokerto dan 2 Wakilnya Sebagai Tersangka
Ia pun tak menyangka bila Ketua DPRD Kota Mojokerto terlibat dalam dugaan suap pelicin pengalihan anggaran hibah pembangunan Politeknik Elektronik Negeri Surabaya (PENS), menjadi anggaran program Penataan Lingkungan pada Dinas PUPR Mojokerto tahun anggaran 2017.
"Ini kan baru muncul beberapa hari terakhir dan baru ini tidak ada komunikasi terkait pembangunan PENS. Saya pikir 11 anggota DPRD yanh turut hearing juga tidak mengetahui ditangkapnya terkait soal itu. Sebab baru beberapa waktu lalu sebagian anggota Komisi C melakukan konsultasi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," jelas Ketua Komisi C sekaligus Ketua Fraksi PDIP ini.
Disinggung soal iuran triwulan sebesar Rp 140 juta yang diberikan kepada pimpinan dewan, Melda menegaskan bahwa hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan partai.
Menurutnya, hal itu murni merupakan urusan Purnomo dengan Dinas PUPR.
"Kami tidak tahu soal itu, kami tegaskan bahwa itu murni urusan pribadi Pak Pur bukan dan tidak ada hubungannya dengan partai," ujarnya. (Ry/Rorry Nurmawati)