TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Jenazah Ardial Ramadhana (31), pelaku penyerangan di Mapolda Sumatera Utara (Sumut), urung dimakamkan di dekat tempat tinggal orangtuanya.
Jenazah teroris yang menikam anggota Polda Sumut Ipda (anumerta) M Sigalingging itu ditolak oleh warga.
Penolakan jenazah Ardial oleh warga Dusun V, Desa Sambirejo Timur, Kecamatan Tembung, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, diakui oleh Sulisno (50), kepala dusun setempat.
"Tadi kami sudah koordinasi dengan bapak‑bapak polisi mengenai pemakaman tersangka. Karena jenazahnya kami tolak, pemakamannya tidak jadi di sini," katanya, Rabu (28/6/2017).
Sempat beredar kabar bahwa jenazah Ardial akan dimakamkan di Dusun V, warga pun berkumpul di dekat rumah kontrakan orangtua Ardial di Gang Dahlia.
Mereka berkumpul untuk menyuarakan penolakan jenazah Ardial.
Namun jenazah Ardial urung dibawa ke Dusun V setelah mendapat penolakan warga.
Jenazah Ardial akhirnya dikubur di pekuburan muslim di Jalan Kemiri, Kecamatan Medan Kota, Rabu (28/6/2017) sekitar pukul 12.00 WIB.
Permakaman Ardial dilaksanakan secara cepat dan dihadiri sekitar 15 orang kerabatnya.
Prosesi penguburan di bawah kawalan petugas kepolisian.
"Prosesnya cepat," kata petugas penggali kubur, Em, seperti dikutip dari Tribun Medan (Grup Tribun Bali).
Em juga menjelaskan liang makam Ardial adalah liang makam kakek, nenek, dan abangnya. Menurutnya, kakek Ardial adalah warga Kemiri.
Selain menolak jenazah Ardial, warga juga menolak orangtua pelaku terorisme tersebut. Di Dusun V, orangtua Ardial merupakan pendatang. Mereka tinggal di rumah kontrakan di Gang Dahlia.
Sulisno menyatakan, orangtua Ardial tidak melanjutkan tinggal di Dusun V.
Apalagi, masa kontrak rumahnya sudah habis.
"Gak boleh lagi mereka tinggal di sini. Kebetulan kan kontrak rumah yang mereka tempati sudah habis. Di sini juga sudah gak ada kontrakan," katanya.
Bukan Desa Teroris
Penolakan jenazah Ardial juga ditegaskan oleh Pangihutan Nainggolan (66), bilal jenazah yang tinggal di Jalan Makmur, Dusun V.
"Saya selaku bilal di desa ini dengan tegas tidak akan mensalatkan jenazah teroris. Apapun ceritanya, jenazah teroris itu harus dibawa pergi dari kampung ini," seru Pangihutan ketika ambil bagian pada aksi warga di depan Gang Dahlia, Dusun V.
Lebih jauh, Pangihutan menyatakan, perbuatan Ardial mencoreng citra baik Desa Sambirejo Timur. Selama ini, desa yang mayoritas warganya muslim itu, merupakan desa yang aman dan damai.
"Kami tidak mau desa ini dicap sebagai sarang teroris. Desa ini dihuni oleh umat muslim yang mempedomani Islam rahmatan lilalamin," kata Pangihutan.
Selepas Pangihutan berorasi, warga bergantian menyampaikan aspirasinya.
Adapun tuntutan warga tak jauh beda dengan Pangihutan, yakni menolak kedatangan jenazah almarhum Ardial. Warga juga membuat poster berisi seruan menolak jenazah teroris.
"Ini bentuk penolakan kami terhadap ISIS. Tak satupun dari anggota ISIS yang boleh tinggal di kampung ini," kata Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Sambirejo Timur, Pujiono (50).
Pujiono yang memegang kaleng cat semprot lantas berdiri di tengah jalan raya. Menggunakan cat semprot, Pujiono kemudian membuat tulisan di jalan, "Tolak ISIS Desa Kami Bukan Desa Teroris".
Saat Pujiono membuat tulisan di jalan, pengendara motor dan mobil diminta berhenti. Sebagian warga lantas menyerukan para tetangga untuk sama‑sama menolak keberadaan ISIS.
"Sampai kapan pun sel‑sel ISIS tidak boleh ada di kampung kami. Mereka harus dimusnahkan dari muka bumi ini," seru Pujiono berapi‑api.
Diberitakan sebelumnya, Ardial bersama rekannya, Syawaluddin, menyerang Mapolda Sumut, Minggu (25/6) pukul 03.00 WIB. Dalam kasus penyerangan ini, Ipda Anumerta Martua Sigalingging yang sedang berjaga di pos, gugur dengan sejumlah luka tusuk.
Martua meninggal dengan meninggalkan seorang istri dan sembilan anak yang satu pun belum ada menikah alias berkeluarga. Anaknya masih kecil-kecil.
Tak Menyangka
Aksi Ardial menebar teror di Mapolda Sumut mengejutkan Budi, jemaah sebuah masjid di Medan. Budi mengaku kenal Ardial yang berjualan jus di dekat masjid.
Budi juga mengaku kerap bertemu Ardial saat salat Jumat. Pertemuan terakhir Budi dan Ardial terjadi sekitar sebulan sebelum Ramadan.
Pada pertemuan-pertemuan itu, Ardial dan Budi sering terlibat obrolan ringan. "Ardi suka menyapa saya. Bahkan dia kerap menanyakan kabar anak saya dan istri saya," katanya, Rabu kemarin.
Budi tidak menyangka, Ardial yang ramah tersebut memiliki paham yang berbeda dari kebanyakan umat muslim. "Di balik sikapnya yang ramah, ternyata Ardial menganut paham radikal," katanya.
Para tetangga juga tak menduga Ardial seorang teroris. Selama ini, Ardial dan orangtuanya tinggal di rumah kontrakan di Gang Dahlia, Dusun V, Desa Sambirejo Timur. Namun warga tak mengenalnya karena Ardial jarang bersosialisasi.
"Kalau pulang, selalu malam. Saya sendiri kurang begitu mengenal sosoknya seperti apa," kata Mega (43), penghuni rumah di depan rumah Ardial.
Wanita berambut pendek ini mengatakan, biasanya pagi‑pagi Ardial sudah pamit berangkat kerja ke orangtuanya. "Kalau pagi cuma lihat gitu aja, dia pamit sama mamaknya, lalu pergi," katanya. Mega menambahkan, sepengetahuannya, Ardial bekerja sebagai pedagang.
Sesekali, Mega dan Ardial berpapasan di depan rumah. Namun, keduanya hanya sebatas melempar senyum. "Selebihnya saya tidak tahu dia seperti apa. Hanya begitu saja yang saya tahu," ungkap Mega.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dusun V, Sulisno (50). Menurutnya, keluarga Ardial belum lama tinggal di Dusun V. "Mereka belum lama tinggal di sini. Saya sendiri enggak begitu mengenalnya seperti apa," katanya.
Sepengetahuan Sulisno, Ardial tinggal bersama ayah tirinya, yang sering dipanggil Pak Tri. "Kami kaget begitu tahu dia teroris. Makanya kami sepakat untuk menolak kedatangan jenazahnya," kata Sulisno. (tribun medan/ray/wes)