Akibat tindakannya yang kerap menentang dan menyuarakan ketidakadilan pemerintah terhadap Aceh, Agus Wandi pernah dicap sebagai musuh negara nomor satu oleh Danrem 012 Teuku Umar, Syarifuddin Tipe.
Tindakannya yang paling menghebohkan adalah ketika ia menginterupsi Mendagri Syarwan Hamid dalam pidato resminya di Anjong Mon Mata, Pendopo Gubernur Aceh.
Kala itu Syarwan tergagap. Dan dia pun harus mengubah haluan bicaranya, sebagaimana maksud interupsi Agus Wandi, bahwa di Aceh telah terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat oleh negara.
Karena itu pula negara harus bertanggungjawab.
Dalam tulisannya, "Mengenang SMUR, Mengingat Agus Wandi", pemerhati sosial politik Aceh M Alkaf menyebutkan Agus Wandi adalah aktivis Aceh yang menyuarakan perlawanan rakyat paling populer kala itu.
"Agus Wandi bahkan menjadi semacam jaminan atas aktivisme mahasiswa kala itu. Posisinya sebagai Sekjend SMUR, yang juga kemudian diposisikan sebagai juru bicara setiap aksi dari lembaga tersebut, bahkan membuatnya populer sekali," kata Alkaf, peneliti dari lembaga The Aceh Institute.
Pascadianggap sebagai musuh negara, Agus Wandi menjadi aktivis paling diburu aparat TNI/Polri.
Sejak itu ia harus bersembunyi dari kejaran aparat bersama aktivis SMUR lainnya.
Termasuk rekan seperjuangannya, Kautsar, pentolan SMUR yang sekarang menjadi anggota DPRA dari Partai Aceh.
Tetapi Kautsar kemudian memilih menghilang ke pedalaman hutan Aceh, bahkan disebut-sebut bersembunyi di markas GAM.
PascaPemerintah RI dan GAM berdamai, nama Agus Wandi kembali muncul sebagai sosok anak muda Aceh progresif yang menghendaki perubahan.
Ia bersama Thamren Ananda, Rahmat Djailani, Raihan Diani dan beberapa aktivis SMUR lainnya mendirikan Partai Rakyat Aceh (PRA) sebagai sebuah partai lokal.
Pada pemilu legislatif 2009, PRA kurang mendapat sambutan rakyat, sehingga kurang diperhitungkan dalam perolehan kursi.
ara pentolan PRA kemudian ada yang hengkang dan masuk menjadi pengurus Partai Nasional Aceh (PNA), partai lokal besutan Irwandi Yusuf.