Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram) (Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H)
Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan dimuliakan dalam ajaran Islam.
Namun tidak demikian dengan anggapan kebanyakan orang awam.
Mereka menganggap Bulan suro adalah bulan penuh musibah, sarat bencana, penuh sial, bulan keramat dan sangat sakral.
Itulah berbagai tanggapan terkait bulan Suro atau bulan Muharram.
Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka.
Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran.
Ada beberapa kriteria bagi mereka yang harus diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri).
Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini:
“Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb.
Jika melakukan hajatan pada bulan ini maka akan mendapatkan berbagai musibah.
Acara pernikahannya tidak lancar, bisa menimbulkan keretakan rumah tangga, anaknay akan terlahir cacat dan banyak mitos lain sebagainya.