TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, jumlah penambang emas pada pertambangan ilegal di Aceh saat ini kurang lebih 20.000 orang.
Mereka tersebar di enam kabupaten, meliputi Pidie, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya.
Angka itu berdasarkan pemantauan pihak Walhi Aceh di lokasi-lokasi tambang.
“Ini bukanlah angka yang sedikit. Mereka tersebar di enam kabupaten. Artinya, sumber daya manusia di lokasi-lokasi yang potensial emas ini akan bergerak untuk mencari sumber ekonomi yang cepat menghasilkan dan praktis. Itu sebab, mereka terus bertahan di lokasi-lokasi tambang” kata M Nur saat menjadi narasumber tamu via telepon dalam program cakrawala membahas editorial (Salam) Serambi Indonesia di Radio Serambi FM, Kamis, (12/10) .
Talkshow itu mengangkat topik berjudul `Tak Mudah Tertibkan Penambangan Ilegal’. Sebagai narasumber internal adalah Sekretaris Redaksi Harian Serambi Indonesia, Bukhari M Ali, sedangkan host-nya, Nico Firza.
Baca: Langkah Penambang yang Tinggalkan Merkuri Diapresiasi
Menurut M Nur, bukan persoalan mudah tidaknya menertibkan penambangan ilegal, tapi justru pemerintah yang tidak mau.
Ia juga mempertanyakan, apa yang menjadi alat ukur untuk mengatakan adalah mudah ataupun sulit menertibkan penambangan ilegal di provinsi ini.
“Kalau alat ukurnya sulit, berarti banyak yang main di sana. Sedangkan apabila alat ukurnya mudah, maka diperlukan regulasi yang merapikan tata kelolala. Jadi, ini bukan soal sulit atau mudah, tapi soal enggak mau,” kata M Nur lagi.
Ia menyampaikan alasan mengapa pemerintah tak mau menertibkan penambangan ilegal.
Jawabannnya, karena lowongan kerja yang tersedia di Aceh minim, sementara angka penganggurannya tingi.
“Kalau penambangan ilegal itu ditutup, siapa yang memikirkan tenaga kerja sebanyak 20.000 orang tersebut? Memang itu kewajiban pemerintah. Pemerintah kemudian mengundang beberapa pengusaha yang cerdas di bidang pertanian, parawisata, dan bidang lainnya. Jangan hanya melihat tambang dan kebun, sebab ada banyak aspek lain yang bisa dikembangkan kalau mau,” sebutnya.
Baca: TNI Segera Produksi Film Pahlawan Perempuan Asal Aceh Laksamana Malahayati
M Nur menyatakan bahwa hal ini tantangannya berat, mengingat emas sekali jadi dapat mencapai ratusan bahkan miliaran rupiah. Sedangkan pertanian sekali panen hanya Rp 3 juta.
Apabila ukuran harus kaya seperti penambang, maka lingkungan akan terabaikan.
Di samping itu, apabila pemerintah tidak menertibkan penambang ilegal, maka dampaknya akan berbahaya pada ketidakseimbangan ekosistem, seperti terjadinya banjir bandang.
Selanjutnya, akan terjadi krisis air bersih, krisis lahan, dan tidak tersedianya sumber daya tambang di masa depan.
“Dan yang paling berbahaya itu adalah sumber kehidupan, yaitu krisis air. Jadi, Pemerintah Aceh jangan bangga kita kaya dari segi air, hutan, dan lainnya. Enggak usah dibanggakan seperti itu, karena yang dihancurkan hari ini adalah sumber-sumber mata air kita. Ingatlah ketika kita mengalami musim kemarau, sehingga air jadi krisis, bahkan sampai Mata Ie pun kering,” jelasnya.
Mata Ie adalah sebuah objek wisata pemandian di Aceh Besar yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda.
Berpuluh-puluh tahun airnya dimanfaatkan warga melalui PDAM, namun pada musim kemarau yang lalu air di kolam-kolam alami Mata Ie itu pun mengering. (una)