TRIBUNNEWS.COM, MAMUJU - Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) merupakan provinsi yang menempati urutan pertama kasus pernikahan dini di Indonesia.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Sulbar, Andi Ritamariani, saat menggelar konferensi pers di Aula Kantor BKKBN, Jl. Abd Malik Pattana Endeng, Kelurahan Rangas, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Rabu (18/10/2017).
Ia mengungkapkan, hal tersebut menjadi menjadi problem atau masalah krusial di Sulbar.
Baca: Warga Pangkep Ini Ditipu Oknum Pegawai BPN, Begini Modusnya
Andi Ritamariani menguraikan, hasil data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Sulbar menunjukan rata-rata usia kawin pertama berada pada usia 19,3 tahun dan hasil data SDKI 2012 menunjukan angka 19,1 tahun.
"Data ini menggambarkan adanya penurunan rata-rata usia kawin pertama (UKP) pada perempuan di Sulbar yang seharusnya angka ini harus dinaikkan," katanya.
Baca: Ingin Melihat Tanah Leluhurnya, Mbah Wongso Terbang dari Suriname ke Indonesia
Ia mengungkapkan berdasarkan sumber data tersebut, rendahnya usia kawin pertama perempuan di Sulbar berakibat pada tingginya angka kelahiran usia dibawah 20 tahun. Ini di tunjukkan dengan data SDKI 2007 bahwa angka Age Specifik Fertilitas Rate (ASFR) umur 15-19 tahun sebanyak 80 kelahiran dan SDKI 2012 naik menjadi 103 kelahiran per 1000 wanita umur 15-19 tahun, atau 10 kelahiran per 100 wanita atau 1 kelahiran per 10 wanita umur 15-19 tahun.
"Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat tahun 2015 juga merilis data bahwa ada 11, 58% wanita di Provinsi Sulawesi Barat menikah dibawah usia 16 tahun. Pun juga provinsi ini memiliki prevalensi terbesar di Indonesia untuk anak perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun," jelasnya saat konferensi pers.
"Hal inipun juga menjadi tema pertanyaan anggota DPR RI komisi IX saat kunjungan kerja dengan para mitra kerjanya di ruang pola kantor gubernur Sulbar pada tanggal 14 Maret 2016," ucapnya.
Ia mengatakan, pernikahan dini merupakan gambaran rendahnya kualitas kependudukan dan menjadi fenomena tersendiri di masyarakat Sulbar. Akibatnya, sangat terkait erat dengan kesejahteraan perempuan muda yang mengalaminya.
"Mereka setelah menikah cenderung mengalami putus sekolah, sehingga memperoleh tingkat pendidikan yang rendah, status sosial yang menurun atau sub ordinasi dalam keluarga, hilangnya hak kesehatan reproduksi, tingginya peluang kematian ibu akibat melahirkan di usia muda, tingginya kematian bayi, hingga kekerasan dalam rumah tangga," ungkapnya.
Melihat dari dampak negatif yang ditimbulkan dari pernihakan dini ini juga menjadi tantangan capaian MDG’s 2015 lalu, terutama pada target untuk mencapai pendidikan dasar yang universal (Achieve universal primary education).
Sementara pernikahan dini seringkali membuat anak putus sekolah dan hal ini juga dapat menjadi tolok ukur keberhasilan program pemerintah wajib belajar 12 tahun. Kemudian pada mengurangi kematian bayi dan meningkatkan kesehatan ibu, menikah di usia dini tentu akan hamil di usia muda yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin mengingat ketidaksiapan secara fisik dan mental anak perempuan untuk hamil dan melahirkan.
"Oleh karena itu komunikasi, informasi dan edukasi tentang pernikahan dini harus lebih ditingkatkan lagi yang didukung oleh semua stekholder bila perlu dibuat dalam bentuk Perda," tuturnya.