Hal itu membuat banyak karyawan yang terpaksa berhenti bekerja. Saat ini, produksi pun dibatasi. Setiap karyawan hanya melinting 1.000 batang perhari.
"Dulu nggak dibatasi. Sekarang cuma boleh 1.000 batang, satu orang,"kata wanita asal Ponorogo ini.
Sementara itu, Pariyem (95) mengaku sudah bekerja menjadi karyawan pabrik rokok klobot sejak berusia 17 tahun. Wanita asal Nganjuk ini merantau ke Madiun untuk bekerja sebagai karyawan di pabrik rokok.
"Sekarang sudah nggak kuat, sehari paling banyak 500 batang," katanya.
Ia mengatakan, rokok klobot tidak digemari semua kalangan. Rokok klobot yang diproduksi di pabrik rokok klobot Grindo hanya dijual di Ponorogo saja.
Pariyem mengatakan, para penikmat rokok klobot itu adalah para warok di Ponorogo. Selain untuk dihisap, kadang juga digunakan pada saat ritual dan pelengkap sesaji.
"Yang merokok ini warok di Ponorogo. Tapi sekarang tinggal sedikit, sudah banyak yang mati," katanya.
Wasit (82) mantan sopir yang biasa mengirim rokok klobot yang sudah dipacking mengatakan, penjualan rokok klobot kian hari semakin menurun.
"Dulu ketika masih jaya, setiap hari kirim 30-40 bal. Sekarang cuma 10 bal seminggu," kata Wasit yang kini dipercaya sebagai penjaga pabrik.
Selama ini, kata Wasit, rokok klobot merek Grindo hanya dijual di Ponorogo. Ketika ditanya kenapa tidak dipasarkan di daerah lain, Wasit mengaku tidak begitu paham.
"Dijualnya cuma di Ponorogo. Karena di sana masyarakatnya gemar dengan rokok klobot, terutama para warok seniman reog," jelasnya.
Sementara itu, Agus Supriyanto (32) karyawan yang bertugas menyiapkan bahan mengatakan tembakau yang digunakan berasal dari Ngawi. Sebelum dilinting, tembakau diracik langsung oleh pemilik pabrik.
Tembakau kering, dicampur dengan saos, cengkeh, kemudian kemenyan. Setelah itu diaduk-aduk hingga tercampur, baru kemudian dilinting.
"Kalau saosnya apa saja bahannya saya tidak tahu. Soalnya pemiliknya langsung yang membuat," katanya.
Pabrik rokok klobot kian tergerus, seiring dengan keberadaan rokok filter dan juga rokok elektronik.