TRIBUNNEWS.COM, KULONPROGO - Di ujung akhir tahap pembersihan lahan oleh PT Angkasa Pura I, beberapa warga Temon yang semula menolak pembangunan bandara belakangan ini mulai berbalik arah.
Mereka mengajukan penaksiran ulang oleh appraisal atas aset bangunan dan tanamannya.
Warga tersebut merupakan pecahan-pecahan dari Wahana Tri Tunggal (WTT) setelah kelompok warga penolak bandara itu memilih berdiri di sisi pendukung bandara.
Pecahan warga itu kini dikenal sebagai Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo (PWPP-KP) yang juga mulai mengalami peluruhan lantaran beberapa warganya kini meminta penilaian ulang aset terdampak bandara miliknya.
Informasi dihimpun, di Desa Glagah, ada tujuh orang warga PWPP-KP dari Pedukuhan Bapangan dan Kepek yang meminta rumah dan tanamannya ditaksir ulang nilai ganti rugi pembebasannya.
Rumah warga bersangkutan kini sudah dikosongkan.
Dari 22 orang warga penolak di desa tersebut, kini hanya tersisa 15 orang saja yang masih bertahan tak mau digusur oleh proyek pembangunan tersebut.
Sedangkan di Desa Palihan, ada delapan warga penolak dari Pedukuhan Munggangan, Kragon II, dan Ngringgit yang berbalik arah dan kini minta dinilai ulang asetnya.
Enam orang sudah mengosongkan rumahnya sedangkan dua orang lainnya sedang bersiap pindah karena belum lama mengajukan penilaian ulang.
Dari 23 warga penolak bandara di Palihan, kini hanya tersisa 15 orang yang masih kukuh menolak.
Seluruh warga pemohon di Palihan dan Glagah itu sudah menjalani proses penaksiran ulang nilai aset oleh appraisal pada Kamis (30/11/2017) lalu.
Kepala Desa Glagah, Agus Parmono mengatakan, berharap warganya yang masih menolak proyek bandara segera mengajukan permohonan penilaian ulang serupa.
Pemerintah desa yang juga terlibat dalam proses pembebasan lahan bersama PT Angkasa Pura I dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) disebutnya sudah memberi cukup waktu kepada warga agar segera mengajkan permohonan namun tak digubris.
Semua bertujuan baik supaya dia bisa dinilai ulang asetnya dan tidak merugi.
Selanjutnya, mereka bisa pindah dengan tenang.
Hari ini juga ada tim appraisal datang untuk memberi kesempatan lagi kepada warga," kata Agus di sela pelaksanaan pengosongan lahan dan bangunan oleh PT AP I di Palihan, Senin (4/12/2017).
Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo telah memebri opsi relokasi ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) untuk warga penolak yang belum punya hunian pengganti.
Hal itu sudah beberapa kali ditawarkan kepada warga bersangkutan namun selalu ditolak mentah-mentah dengan alasan warga memang tidak ingin pindah karena tergusur proyek bandara.
Tidak ada respon positif dari warga atas penawaran tersebut.
"Mereka tetap tidak mau meski sudah berulangkali kita tawarkan. Jikapun mau pindah, mereka cenderung ingin pindah ke rumah keluarganya yang lain," kata Agus.
Hal serupa juga disampaikan Kepala Desa Palihan, Kalisa Paraharyana.
Warga penolak tetap bergeming menghuni rumah amsing-masing dan tak mau pindah meski sudah ditawari tempat di rusunawa.
Demikian pula dari warga yang sudah luluh dan meminta penialian ulang, mereka tidak mau pindah ke rusunawa dengan alasan terbatasnya luasan kamar yang tak cukup menampung barang perabotannya.
"Ada satu orang yang mau ke rusunawa. Tapi yang lainnya ngga mau karena barangnya ngga bisa masuk semua," kata Kalisa.
Project Secretary Pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) PT AP I, Didik Tjatur Prasetya mengatakan, solusi yang ditawarkan pemerintah untuk warga terdampak pembangunan bandara sebetulnya cukup banyak.
Termasuk soal rusunawa sebagai hunian sementara apabila warga yang akan pindah belum sempar beli rumah baru.
Terkait warga yang masih menolak, Didik menyebut pihaknya tetap berpegang pada ketentuan pembebasan lahan sebagaimana diatur oleh undang-undang.
Yakni, melalui mekanisme penaksiran nilai aset warga oleh appraisal.
"Ini sudah ganti untung, bukan ganti rugi lagi. Patokan kami hasil appraisal, tidak bisa kalau di luar itu," kata dia.(*)