TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Sejak kecil Hasan Tiro sosok yang brilian. Pada masa mudanya ia juga banyak menulis.
Beberapa karyanya, antara lain, buku berjudul Drama and Legal Status of Acheh Sumatra.
Selain itu ia juga menulis The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan di Tiro.
Buku setebal 226 halaman itu merupakan cacatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.
Di buku itulah ia menukilkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976, setelah 25 tahun tinggal di Amerika Serikat.
Namun, sosok Hasan Tiro tidak selamanya mengobarkan semangat perlawanan terhadap Pemerintah RI.
Ia ternyata juga sosok yang sangat nasionalis.
Beberapa literatur menyebutkan, pada masa remajanya Hasan Tiro pernah menjadi penggerek bendera Merah Putih, di sebuah tempat di Lamlo (dulu bernama Lamulo), tak jauh dari rumahnya.
Baca: Tetangga Tak Tahu Siapa Penyewa Rumah yang Diduga Pabrik Pembuatan Pil PCC
Setelah itu ia merantau ke Bireuen dan Yogyakarta.
Ia sempat menjadi orang kepercayaan Waperdam Sjafruddin Prawiranegara, lalu dikirim Pemerintah Indonesia menjadi staf Atase Penerangan di Kantor Peroetoesan Tetap Pemerintah Republik Indonesia (PTRI) di New York, AS.
Di kota tempat PBB bermarkas itu pula ia menamatkan program doktor pada Columbia University.
Lalu, Hasan Tiro menerima penunjukan dirinya oleh Tgk Daud Beureueh (tokoh penggerak DI/TII) sebagai Duta Besar Darul Islam Aceh yang berkuasa penuh untuk PBB.
Namun, Sekjen PBB menolak penyerahan mandat itu.