Hasan Tiro berkenan menerima mandat berisiko itu setelah ultimatumnya kepada petinggi Indonesia, Ali Sastroamidjojo, pada 1 September 1950, agar menindak serdadu yang menembaki 192 penduduk sipil di kawasan Pulot Cot Jeumpa, Aceh Besar, dan mengakui tindakan itu sebagai genosida, tidak digubris.
Baca: Marsekal Hadi Tjahjanto Calon Tunggal Panglima TNI Gantikan Gatot Nurmantyo
Paspor diplomatiknya malah dicabut Ali Sastro.
Hasan Tiro sempat terkatung-katung sebagai sosok tanpa kewarganegaraan (stateless), sampai akhirnya ada dua senator AS yang menjamin dan membayar denda untuk menebusnya.
Ia kemudian beroleh status permanent resident di New York.
Setelah "patah arang" dengan Pemerintah Indonesia, saat masih bermukim di Amerika Serikat, Hasan Tiro pun mengentalkan tekadnya untuk mendeklarasikan Aceh Merdeka.
Ia kembali ke Aceh tahun 1975, dan setahun kemudian, setelah mendapatkan sejumlah pengikut, Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Halimon, Pidie, pada 4 Desember 1976.
Tak banyak yang tahu mengapa tanggal 4 Desember ia pilih sebagai tanggal proklamasi.
Ternyata, untuk mengenang tanggal pemakaman Tgk Syaikh Ma'at Ditiro bin Tgk Mat Amin, cucu Tgk Chik Ditiro, yang meninggal pada 3 Desember 1911 akibat ditembak serdadu Belanda.
Baca: Warga Gotong Jenazah Mesak Menyusuri Hutan Belantara Selama Sehari karena Tak Mampu Sewa Pesawat
Ma'at Ditiro mengikuti jejak ayahnya, Tgk Mat Amin, yang juga lebih memilih mati syahid (tahun 1896) ketimbang menyerah kepada penjajah, Belanda.
Artinya, hampir selalu ada alasan sejarah pada setiap tindakan Hasan Tiro.
Kisah perjuangan Hasan Tiro mengobarkan semangat ideologi GAM penuh intrik dan warna-warni kehidupan.
Ia sempat mengecap gemerlap dan hingar-bingar Kota New York Amerika Serikat setelah akhirnya menetap di Swedia sampai usia senja.