Kepada orang-orang itulah dia menceritakan bebannya yang berat.
Suatu saat, orang yang mengetahui bebannya, mengajak Ita ke ruang Hemodialisa.
"Staf itu menyatakan daripada hidup ibu putus asa, lebih baik berguna buat orang lain," kenangnya.
Beberapa hari kemudian, dia dipertemukan dengan dokter berinisial R. Dokter inilah yang mempertemukan Ita dengan sosok bernama Erwin yang membutuhkan transplantasi ginjal.
Tanpa pikir panjang, Ita menyetujui untuk menyerahkan ginjalnya. Seminggu kemudian Ita bertemu dr R, Erwin dan istrinya.
"Sebenarnya orang-orang di RS sudah mengingatkan saya perlunya hitam di atas putih. Saya ikuti saran mereka dengan bilang ke istrinya Pak Erwin," tutur dia.
Kepada istri Erwin itu, Ita menyatakan bahwa ia tidak menjual organnya. Namun ia juga punya kebutuhan.
"Saya ingin bapak (Erwin)sehat. Namun saya juga ingin masalah saya diselesaikan bapak," kata Ita ke istri Erwin.
Kemudian, disepakatilah perjanjian yang ditandatangani oleh Ita.
Dalam perjanjian itu, sepanjang yang dia ingat, ada poin yang menyebut bahwa apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, itu di luar tanggung jawab RS.
"Saya hanya sekali saja tanda tangan," jelas Ita Diana.
Operasi dilakukan pada 25 Februari 2017 di RSSA. Diakui Ita, saat operasi tidak ada persetujuan keluarganya sama sekali. Ia sempat ditanya soal keberadaan suaminya, namun dijawabnya bahwa sang suami sedang bekerja.
"Saya tidak punya bukti apa-apa. Kuitansi saja tidak ada," paparnya.
Seminggu sebelum operasi ia sempat diinapkan di hotel dengan uang saku Rp 75.000 per hari. Setelah operasi hingga tiga bulan, tak ada kabar sisa pembayaran hutangnya.