"Surat SK kerja saya buat beli tanah, nah proses pembangunannya sampai jadi lewat hasil jual batu akik," tutur warga Desa Limbangan, Nusakambangan, yang saat itu ditemui sedang duduk di pos penjagaan pintu masuk Lapas Batu seraya menghisap rokok.
Saat itu, batu akik ukuran kecil atau sekitar 1 sentimeter dijual dengan harga Rp 500 ribu.
Padahal jika belum jadi, harga batu hanya Rp 3 ribu.
Supaya memiliki nilai jual tinggi, strategi pemasaran awalnya dengan memberikan batu akik cuma-cuma kepada pejabat daerah setempat.
Dari situ, lapak batu akik bernama Thomsonite miliknya mulai kebanjiran permintaan, baik dari lingkungan Pulau Nusakambangan hingga daerah luar.
"Karena biasanya kalau pimpinan pakai, anak buah pada ikutan. Paling murah Rp 500 ribu, paling mahal pernah ada yang beli sampai belasan juta rupiah," imbuhnya.
Taufik mengungkapkan, batu akik Tumpang memiliki keunikan.
Selain motifnya yang cantik, ketika disentuh motif di dalamnya seolah-olah bisa bergerak, atau sering disebut batu touchscreen.
Kini seiring meredupnya pasar batu akik, permintaan mulai berkurang dan harga jualnya pun anjlok.
Tetapi, pria asli kelahiran Pulau Nusakambangan itu tidak mempersoalkannya, sebab paling tidak dirinya pernah merasakan hasil dari menjual batu akik.
Selain itu, bapak empat orang anak itu juga mempunyai usaha sampingan lain, seperti membuat lukisan seputar Nusakambangan, hingga menghasilkan kerajinan minuatur kapal layar dari limbah pohon plalar. (tribunjateng/cetak/tim lipsus)