"Kami mempersiapkan teropong dan kentongan untuk melestarikan tradisi," kata salah satu warga, Arif Sulistiyo.
Dia mengakui, anak muda saat ini sudah tidak banyak yang mengetahui cerita tradisi turun temurun.
Oleh karena itu, dia bersama beberapa pemandu Goa Pindul menggelar pukul kentongan bersama warga untuk melestarikan tradisi, sekaligus mempererat tali persaudaraan.
"Nanti malam itu fenomena yang langka karena 'Super Blue Blood Moon' dan ini belum tentu seumur hidup kita mengulangi. Sekalian silaturahim dengan warga di sini sambil minum teh dan makanan kecil," ucapnya.
Ketua Dewan Kebudayaan Gunungkidul, CB Supriyanto mengakui, tradisi pukul kentongan ini sudah mulai pudar.
"Dulu gerhana matahari atau bulan identik dengan raksana yang menelan bulan atau matahari. Masyarakat percaya, kentongan atau lesung diibatkan dengan perut raksana. Ketika kentongan atau lesung dibunyikan, masyarakat percaya raksana akan mengeluarkan lagi matahari atau bulan yang ditelan,” ungkapnya.
Artikel ini telah tayang di kompas.com 31 Januari 2018 oleh Markus Yuwono dengan judul asli “Pukul Kentongan dan Lesung Saat Super Blue Blood Moon Tiba"