TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Peristiwa kekerasan yang menimpa sejumlah pemuka agama dalam beberapa pekan terakhir di sejumlah daerah, jika tidak ditangani dengan baik menjadi indikasi awal kegagalan agama dan negara.
"Agama seharusnya membentuk pribadi yang santun dan bermartabat, sementara Negara memberi jaminan terjaganya situasi keberagamaan tanpa ada rasa takut atau khawatir," kata Algooth Putranto, Ketua Insani Madina Graduate School Universitas Paramadina.
Algooth menilai, dalam hal kekerasan agama, peristiwa yang berulang membuat kita mempertanyakan apa yang dilakukan para pemuka agama yang seharusnya sadar untuk membina umat dengan entitas kebangsaan yang bhinneka.
Sementara dalam peran dan tanggungjawab negara, kekerasan agama yang berulang menjadi cermin kualitas kerja aparatur negara, baik aparat keamanan maupun aparat sipil di wilayah tersebut.
Dalam kasus kekerasan intoleransi di Yogyakarta, menurut Algooth jika terus dibiarkan berpotensi memudarkan makna daerah istimewa yang disandang Yogyakarta.
"Jangan sampai, akibat pembiaran terhadap aksi intoleransi menyebabkan keistimewaan tersebut akhirnya tak bermakna, bahkan hilang seperti halnya Daerah Istimewa Surakarta," kata Algooth. "Dalam hal ini saya rindu dengan mendiang Sultan Hamengku Buwono IX," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, seorang pemuda bernama Suliono menyerang Gereja Santa Lidwina Bedog, di Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta, pada saat misa berlangsung pada Minggu pagi (11/2/2018). Suliono yang bersenjata pedang melukai 5 orang dalam aksinya tersebut, yakni 3 jemaat, pastor dan seorang polisi.
Untuk melumpuhkan pelaku, polisi menembak kaki Suliono. Kini, pelaku yang diketahui berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur itu dirawat di RS Bahayangkara, Kalasan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hingga berita ini diturunkan, belum diketahui motif penyerangan gereja tersebut. "Motif belum tahu, masih kita selidiki," kata Kapolres Sleman AKBP M Firman Lukmanul Hakim di lokasi, Minggu (11/2/2018).