Sebagian barang dititipkannya di rumah nenek di Pedukuhan Palihan II yang kini hidup bersama ayah dan ibunya.
Ia tak punya sumber nafkah lagi setelah kebun semangkanya terkena pembebasan lahan.
"Waktu pindah ke sini, rasanya asing sekaligus sedih karena rumah kami baru saja dirobohkan. Tapi sejauh ini nyaman saja tinggal di sini dan lebih betah lagi kalau sudah punya pekerjaan."
"Kami tidak memiliki harta lagi karena belum mendapat uang ganti rugi dan saya belum punya pekerjaan lagi," kata Supriyadi.
Disinggung terkait sikap penolakannya dulu, Supriyadi mengaku tak menyesal.
Walaupun, seandainya saat itu dia bersikap pro pembangunan bandara, ia mungkin tak perlu kelimpungan mencari hunian sementara.
Menurutnya, menolak adalah prinsip kuat yang dipegangnya karena ia tak ingin tergusur dari lingkungan hidupnya selama ini.
Satu-satunya alasan yang mendorongnya beralih pikiran menerima tanahnya dibebaskan yakni karena ingin menghormati dan merawat kedua orangtuanya yang sudah mulai menua.
Saat itu, ia dan seorang kakak iparnya (suami dari kakak kandung perempuan Supriyadi) memang begitu kuat melakukan penolakan.
Sedangkan kedua orangtuanya bersikap cenderung pro-bandara meski tetap mengikuti kemauan anak-anaknya.
Perjalanan waktu berkata lain dan WTT akhirnya berubah sikap karena posisi yang terus melemah dalam menolak.
Berbeda dari Supriyadi yang lalu merelakan tanahnya, tidak demikian dengan sang kakak.
Mereka hingga hingga kini masih bertahan di Palihan sebagai warga penolak dari Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo (PWPP-KP).
"Perjuangan (menolak) itu terlalu berat untuk dilanjutkan. Saya pribadi juga lebih berat kepada orangtua, ingin ngemong orangtua."