TRIBUNNEWS.COM, KULONPROGO - Supriyadi (34) baru saja kembali ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Triharjo Wates ketika Tribun Jogja menemuinya, Kamis (15/2/2018).
Ia baru saja selesai menjemput anaknya yang bersekolah di SDN 3 Glagah, Kecamatan Temon.
Lelaki berpostur tegap ini merupakan warga terdampak pembangunan bandara NYIA asal Pedukuhan Kragon II Desa Palihan.
Ia dulu kukuh menolak pembangunan bandara bersama warga lain dari kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT) sebelum kelompok itu berubah haluan mendukung bandara.
Rumahnya yang berada di utara Gereja Kristen Jawa (GKJ) Palihan itu sudah lenyap, rata dengan tanah.
Backhoe dari proyek bandara telah merobohkan bangunan rumahnya dan juga gereja tersebut tanpa sisa pada suatu pagi di awal Desember 2017 lalu.
Setelah semalam menginap di rumah saudara, keesokan harinya Supriyadi langsung mengusung istri dan satu anaknya itu ke rusunawa tersebut.
"Kami memang berniat kooperatif saat itu dan mengosongkan rumah. Saya mendapat informasi tentang rusunawa ini dari kepala desa."
"Dengan bantuan Kapolsek Temon, saya akhirnya bisa mendaftar untuk menghuni di rusunawa ini. Tidak lama setelah rumah saya dirobohkan," kata Supriyadi.
Rusunawa menjadi pilihan terbaik kala itu.
Setelah WTT berbalik arah mendukung pembangunan bandara, Supriyadi juga telah menjalani penilaian ulang aset bangunan rumah, tanam tumbuh, dan sarana pendukung lain (SPL) namun hingga kini belum menerima sepeserpun dana kompensasi pembebasan lantaran masih dalam tahap permohonan diskresi (keringanan).
Adapun dana ganti rugi atas lahan yang ditempatinya masih atas nama neneknya ketika dicairkan konsinyasinya.
Di sisi lain, dirinya juga telah menerima surat peringatan (SP) pengosongan lahan dari pihak pemrakarsa pembangunan bandara, PT Angkasa Pura I.
Akhirnya, pembongkaran itu pun terjadi dan Supriyadi mau tak mau harus mencari peneduh bagi keluarga kecilnya karena seluruh tanah pekarangan, tegalan, dan rumah terkena proyek tersebut.