TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Pengamat politik Eep Saefulloh Patah, mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak penyelenggara pilkada untuk ikut mengawasi lembaga-lembaga survei jelang pilkada.
Sebab, maraknya lembaga survei yang merilis berbagai hasil surveinya jelang pemilihan kepala daerah berpotensi akan membuat masyarakat menjadi bingung.
"Kami sebagai pihak yang berkecimpung di dunia konsultan politik merasa risau dengan perkembangan pilkada di banyak daerah yang biasanya ditandai dengan kumunculan banyak lembaga survei," ujar Eep pada diskusi bersama awak media, Selasa (20/3/2018) di Surabaya.
Menurutnya, pada dasarnya masing-masing lembaga survei memiliki hak untuk merilis hasil penelitiannya.
Namun, rilis tersebut sebaiknya juga harus valid sehingga pemilih mendapatkan informasi sesuai fakta.
"Rilis survei itu juga harus memperhatikan hak pemilih. Pemilih punya hak untuk mendapatkan informasi yang valid, obyektif, dan tidak memihak," jelas peneliti asal Lembaga Survei Polmark Indonesia ini.
Apabila lembaga survei tak memerhatikan validitas, maka yang akan dirugikan adalah pemilih.
Menurutnya, ada dua dampak yang akan diterima pemilih, yakni dampak jangka panjang dan dampak jangka pendek.
Untuk jangka pendek, pemilih akan bingung dan kehilangan kepercayaan terhadap informasi.
"Buruknya, bisa menjadi mobilisasi massa melalui cara yang canggih," urainya.
Dampak jangka panjang sekaligus permanennya, pemilih bisa saja kehilangan kepercayaan terhadap lembaga survei.
"Maka pemilih akan menganggap bahwa hasil survei itu main-main. Hasilnya bisa ditentukan sesuai pemesannya," ujarnya.
Untuk mengantisipasi hal ini, Eep pun mengusulkan agar KPU mengatur regulasi perihal survei.
"Menurut saya, harus ada regulasi yang membuat survei bisa bertanggung jawab. KPU bisa mewajibkan tiap lembaga survei menyerahkan beberapa persyaratan," ujarnya.