TRIBUNNEWS.COM, MANGUPURA - Kamis (5/7/2018) tepat pukul 03.20 Wita dini hari, kawasan Ground Zero, Legian, Kuta, Badung, Bali, masih dipadati wisatawan asing.
Hingar bingar suara musik terdengar di beberapa klub malam di kawasan tersebut.
Puluhan taksi dan tukang ojek masih setia berderet menunggu jam pulang para turis yang dugem.
Sekitar pukul 04.00 Wita, ratusan turis mulai berhamburan keluar dari klub-klub malam itu.
Rata-rata mereka sudah berjalan setengah sadar, alias mabuk berat.
Saking mabuknya, bahkan beberapa turis ada yang pingsan dan tidur di jalanan, kemudian ditolong oleh rekannya.
Lewat dari pukul 04.00 Wita, cahaya lampu yang menghiasi Legian mulai meredup.
Suasana pun tiba-tiba lebih gelap terutama di sepanjang trotoar Jalan Raya Legian.
Hingar bingar suara musik pun perlahan mulai mengecil, lalu hilang.
Di tengah keramaian turis yang keluar dari diskotek, puluhan sopir taksi mulai berlomba mencari penumpang.
Tukang ojek pun tak mau kalah.
Satu per satu turis yang melintas di depannya ditawari naik ojek.
"Biasanya pada saat momen inilah paling rawan jambret dan copet di Kuta. Karena rata-rata tamu (turis) pada mabuk, tidak sadar penuh tiba-tiba barangnya hilang lalu panik. Belum lagi mereka itu sembarangan bawa barang, jadinya mengundang orang berbuat jahat," kata Pengawas Keamanan Desa Adat Kuta, Ketut Sudiarsa, kepada Tribun Bali pekan lalu.
Baca: 80 Persen Anies Baswedan Cawapres Prabowo
Kendati banyak ojek dan taksi yang berjejer di kawasan Ground Zero, namun turis yang menginap tidak lebih dari 1 km dari jarak pusat hiburan malam memilih berjalan kaki bersama teman-teman mereka.
Ada juga yang berjalan dua orang.
Saat para turis berjalan kaki menuju tempatnya menginap itulah kerap terjadi penjambretan di kawasan ini.
"Penjambret biasanya tidak sendiri. Kalau ada turis yang didekati lebih dari dua orang, sudah patut kita curigai. Biasanya satu orang ngajak ngobrol berpura-pura menawarkan ojek, terus dua atau tiga temannya lagi beraksi mengambil barang-barang milik turis. Biasanya yang dicari handphone atau tas dan dompet," tutur Sudiarsa.
Pria yang sudah sempat mengamankan enam orang jambret di kawasan Legian itu mengungkap sebelum tahun 2018 ini hampir setiap hari ada kasus penjambretan di Kuta.
Ada beberapa titik yang biasanya terjadi kasus penjambretan, bergantung situasi dan kondisi saat dini hari.
"Paling sering sih di dekat-dekat klub malam. Biasanya kalau ada petugas (polisi dan jagabaya) yang standby, mereka (penjambret) mencari daerah lain, seperti di kawasan Kubu Anyar, dan Dewi Sri," ungkap pria 46 tahun ini.
Gang Poppies
Pukul 04.30 Wita dini hari, Tribun Bali sempat berkeliling di sepanjang Jalan Raya Legian, Kuta.
Di tengan kesunyian, dan turis-turis sudah mulai kembali ke penginapan mereka, ternyata masih ada beberapa turis yang berjalan kaki di trotoar.
Baca: BREAKING NEWS: Sejumlah Kapal di Pelabuhan Benoa Terbakar
Tampak sejumlah kelompok pemuda masih nongkrong-nongkrong di mini market, atau teras-teras toko.
Tribun Bali juga sempat memutar-mutar di gang yang terkenal jalur gaza bagi para turis, yakni Gang Poppies, Kuta.
Di gang itulah sebelumnya kerap terjadi insiden penjambretan di Kuta.
Benar saja, di gang kecil yang luasnya cuma cukup untuk dua sepeda motor itu begitu sunyi, dan minim cahaya lampu.
Hal ini diduga menjadi celah bagi penjambret senang melakukan aksinya di gang tersebut.
Apalagi di gang ini banyak cabang, sehingga memudahkan para penjambret melarikan diri apabila dikejar pemilik barang.
Di titik paling rawan gang tersebut, kini tampak sudah diisi spanduk oleh pihak kepolisian yang bertuliskan "Zona Bebas Jambret".
Di Gang Poppies I dan Gang Poppies II kini sudah dipasang kamera CCTV.
Meski demikian, penjambret rupanya selalu menggunakan helm, atau jaket sweatter untuk menutupi kepala saat beraksi.
Menurut warga Kuta, Putra Gunadi, belakangan sudah lebih jarang terjadi kasus penjambretan di kawasan Ground Zero, dan Gang Poppies Kuta.
"Kalau dari pantauan orang yang awam seperti saya, sekarang sudah lebih jarang," kata Putra.
Saat Tribun Bali menyusuri Gang Poppies II sekitar pukul 03.30 Wita keesokan harinya, Jumat (6/7/2018) dini hari, tampak sejumlah anggota jagabaya berkeliling.
Mereka mengaku tidak menemukan hal yang mencurigakan pada waktu itu.
"Tidak bisa diprediksi yang begitu. Kalau kami ada pasti dia tidak ada," ujar seorang anggota jagabaya.
Turunkan Tim Jagabaya
Selama hampir sepekan Tribun Bali melakukan penelusuran di kawasan Ground Zero, ada satu warga asing yang terdengar melaporkan kasus kehilangan ke posko kepolisian yang ada di kawasan Ground Zero.
"Masih ada kok (jambret) di sini. Cuma sekarang tidak sering seperti dulu. Ada saja pokoknya kejadian kehilangan," kata seorang pemilik warung yang menjadi langganan para sopir taksi, polisi, dan tukang ojek di kawasan Ground Zero Kuta.
Sejumlah sopir taksi yang sempat bercakap-cakap dengan Tribun Bali juga mengungkap bahwa kasus jambret dan copet di Kuta memang sudah rahasia umum.
Bahkan, empat orang sopir taksi yang sempat bercakap-cakap dengan Tribun Bali bertutur bahwa jambret dan copet di kawasan Ground Zero Kuta seperti memiliki jaringan kuat, sehingga sangat sulit diberantas sampai akar-akarnya.
Baca: Kapolresta Sukabumi: Ini Bukan Kasus Orang Tenggelam Lalu Muncul 1,5 Tahun Kemudian
"Itu sudah rahasia umum. Saya sudah 22 tahun berseliweran di sini nganter tamu, ya tahulah gimana. Tapi saya tidak berani menuduh siapa-siapa," ungkap salah satu sopir taksi seraya sedikit tersenyum ke arah teman-temannya yang sesama sopir taksi.
Seorang pegawai Money Changer di kawasan Ground Zero, Jro Koming, mengungkapkan bahwa copet di kawasan itu beraksi ketika tidak ada petugas yang bersiaga.
Ia menyebut apabila di kawasan Ground Zero lebih dominan terjadi kasus pencopetan daripada penjambretan.
"Kalau di sini biasanya copet yang ada. Kalau jambret itu kan yang bawa motor, biasanya di gang-gang Poppies itu dia," ujar pemuda asal Kintamani, Bangli ini.
Desa Adat Kuta menugaskan Tim Jagabaya yang terdiri dari 17 orang setiap harinya untuk memonitoring dan menjamin keamanan wilayahnya pada jam pulang para turis di kawasan Legian, Kuta.
Mereka bekerja mulai pukul 23.00 Wita, sampai pukul 04.00 Wita.
"Kami hanya bisa sampai jam 4 pagi saja. Selebihnya kami tidak tahu kondisi di lapangan. Sebenarnya diskotek itu harus tutup jam 3 pagi, tapi ada juga yang langgar, buka sampai jam 4 pagi," kata Sudiarsa.
Tingginya potensi tindakan kriminal di kawasan Legian, Kuta, membuat jajaran kepolisian, dan kelurahan harus rutin menggelar rapat-rapat untuk penyamaan persepsi dalam pencegahan dan atensi apabila ada kejadian.
Kelurahan Kuta bersama dengan jajaran kepolisian dan instansi terkait akan menambah personel apabila kasus kembali bertambah.
"Selama ini kami sudah rutin melaksanakan pertemuan dengan pihak kepolisian. Pada prinsipnya kami mengikuti pola dari kepolisian. Kalau di kelurahan, Linmas kami personelnya cuma enam orang. Tidak bisa awasi semua titik, makanya harus bekerjasama dengan seluruh instansi," kata Lurah Kuta, Wayan Daryana, seraya mengaku pihaknya sudah rutin melakukan patroli, baik di pagi, sore, dan malam hari.
"Selebihnya kami ikuti pola dari kepolisian. Kalau kondisinya gawat, tentu tim kami akan kami perbanyak," kata Daryana.