"Dia ngaku polisi dan melakukan sidak HP katanya untuk mengantisipasi adanya teror. Hp yang diambil HP yang bagus bagus saja," tutur Yohanes.
Setelah memilih enam HP tersebut, sekitar pukul 06.45 Wita, pelaku memintanya ikut. Katanya akan menuju Polres Tabanan untuk mengambil surat tugas.
Yohanes yang diboncengnya dari SMPN 2 Tabanan menuju Polres Tabanan justru diminta turun di Kantor SIM untuk menunggu.
Pelaku yang mengaku akan mengambil surat tersebut justru pergi dari Polres Tabanan dan menuju ke arah timur.
"Saya diminta ikut sama dia ke kantor polisi. Kemudian diturunin di Kantor SIM terus dia bilang mau ambil surat dan keluar dari Polres kemudian ke arah timur. Saya sampai jam delapan di sana (Polres) tapi dia tidak datang," kata dia.
Lantaran tak kunjung datang, ia langsung menuju sekolah jalan kaki dari Polres yang jaraknya kurang lebih sekitar 200 meter ini.
Yohanes memaparkan ciri-ciri pelaku berperawakan gendut, kulit hitam dengan postur tubuh tinggi, mengenakan jaket berwarna hitam, kaus putih, dan mengendarai sepeda motor Vario warna pink kombinasi hitam serta mengenakan helm KYT berwarna abu-abu.
"Saya gak tau berapa nomor pelat motornya," kata siswa asal Banjar Wanasari Tengah, Desa Wanasari, Tabanan ini.
Baca: Cerita di Balik Koalisi Prabowo-Sandiaga, Setengah Jam Menyatukan Pendapat hingga Meyakinkan SBY
Jadi Pelajaran
Kepala SMPN 2 Tabanan, I Gede Darmika mengaku saat kejadian, ia tidak berada di sekolah.
Ia menerima laporan bahwa ada seseorang yang berpura-pura atau menyamar menjadi seorang polisi kemudian menggelar razia dan menyita enam handphone siswa.
"Siswa kelas VIII A sebenarnya tidak melaporkan kejadian itu. Namun siswa menceritakan kejadian itu kepada pemilik kantin di sekolah yang kebetulan istrinya Guru BK di sini. Setelah itu barulah dilaporkan ke guru BK dan mereka menyampaikan kepada saya," jelasnya.
Saat itu Wakasek SMPN 2 Tabanan, Gusti Made Sujendra sedang piket di sekolah sempat melihat pelaku.
Namun ia tidak menaruh curiga terhadap pelaku. Ia mengira pelaku adalah orangtua siswa.
"Saat itu ada guru piket kami yang melihat tapi tidak curiga karena dikira orangtua siswa," ungkapnya.