Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, PALU - Musibah yang mengguncang Palu, Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah meninggalkan banyak cerita pilu dari para korban.
Termasuk tentang cara mereka sewaktu menyelamatkan diri hingga akhirnya berhasil lolos dari maut yang sudah begitu dekat.
Harta benda sama sekali sudah tak ada di benak mereka untuk diselamatkan.
Yang utama adalah nyawa mereka mampu lolos dari ganasnya bencana.
Satu cerita dialami Nita Puspita (28) yang tinggal di wilayah Petobo, Palu Barat, Palu, Sulawesi Tengah.
Kawasan ini adalah wilayah terparah yang amblas 'ditelan bumi' akibat likuifaksi yang terjadi.
Nita bercerita sama sekali tak ada firasat apapun bahwa di Jumat petang di tanggal 28 September lalu, suatu bencana besar akan menenggelamkan tanah kelahirannya.
Ia ingat, beberapa saat setelah gempa mengguncang, tiba-tiba tanah di depan rumahnya bergejolak seperti ombak yang naik turun begitu tingginya.
Baca: Jembatan Kuning, Ikon Kebanggan Palu dan Keberadaan Buaya Kalung Ban
Ia panik, tak tahu apa yang saat itu terjadi. Yang ia tahu semua orang lari berhamburan menyelamatkan diri masing-masing. Begitu juga dengannya.
Nita berusaha lari sekencang mungkin menjauh dari rumahnya meski saat itu ia tak tahu kemana kakinya melangkah.
Perjuangannya itu seolah begitu berat karena harus menginjakan kaki di tanah yang sudah bergejolak naik turun dan retak.
Nita tak bersama anak-anaknya saat melarikan diri. Ia terpisah dengan kedua buah hatinya.
Yang ada di benaknya kala itu adalah bagaimana cara harus berlari ke arah yang aman dari fenomena alam maha dahsyat itu.