TRIBUNNEWS.COM, PURWAKARTA - Saat itu jam menunjukkan pukul 12 siang, matahari pun menyengat persis berada di atas kepala.
Ikatan keluarga alumni Lemhanas RI (IKAL) Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXI dan sejumlah wartawan berkesempatan mengarungi Bendungan Ir H Djuanda (Jatiluhur), bendungan terbesar di Asia Tenggara, yang berada di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (22/10/2018).
Ketua IKAL PPSA GROUP XXI, Komjen Pol (pur) Arif Wachjunadi berserta Pengurus IKAL PPSA GROUP XXI yang hadir adalah Mayjend TNI Ilyas Alamsyah, Lily Wasitova, AM Putut Prabantoro dan Caturida Meiwanto Doktoralina menumpang di Kapal Patroli Polisi Air Indonesia.
Sejumlah pejabat utama Perum Jasa Tirta II (PJT II) pun turut mendampingi mengelilingi bendungan yang yang memiliki panjang 1.200 meter itu. Bendungan yang di-ground breaking tahun 1957 oleh Presiden pertama RI, Soekarno itu memiliki kapasitas tampung air sekitar 3 miliar meter kubik, dan luas genangan sekitar 8.300 Ha.
Baca: Perkosa Gadis 6 Tahun dan Buang Mayatnya ke Tempat Sampah, Pria Dihukum Mati, Korban Lebih dari Satu
Saat itu sedang ada masalah pada kualiatas air di bendungan, yang memasok 80 persen air baki kebutuhan Jakarta.
Kapal patroli memecah air di bendungan yang dikonstruksi pada 1957-1967.
Keindahan panorama alam berlatar belakang pegunungan menambah keindahan selama menikmati perjalanan.
Dari kejauhan terlihat petakan-petakan dan rumah seakan terapung di tengah bendungan. Aroma tak sedap, khas pakan ikan pun mulai tercium menyengat.
Keramba Jaring Apung (KJA) terlihat menghampar di satu sudut Bendungan Jatiluhur.
Baca: MA India Cabut UU Larangan Homoseksual
Menurut Direktur Utama PJT II Jatiluhur, Djoko Saputro, jumlah KJA memang sudah jauh berkurang sebanyak 2.500 lebih setelah ditertibkan Satgas dari pertengahan April 2017-Oktober 2018.
Tersisa 31.731 petak KJA dengan konsumsi pakan hatian 211,5 ton per hari, atau 77.212 ton per tahun.
Belum lagi total rumah jaga KJA sebanyak 1.289 unit dengan total penjaga 2.578 orang. Diasumsikan limbah kotoran manusia 1,3 ton per hari atau 470 ton per tahun.
"Dengan lebih 31 ribu KJA di danau Jatiluhur saat ini itu sudah diatas kemampuan danau untuk menerima pengotoran dati kerambah. Apalagi sekarang musim kemarau, tinggi muka airnya surut, dengan tingkat pengotoran yang relatif sama, kontaminasi terhadap air itu menjadi sangat tinggi," ujar Djoko.
Baca: Sederet Jadwal dan Lokasi Tes Seleksi Kompetisi Dasar CPNS 2018, Cek di sscn.bkn.go.id
Keberadaan KJA di perairan tersebut dianggap menjadi salah satu biang kerok menurunnya kualitas air di Bendungan Jatiluhur.
Belum lagi, tingkat keasaman air yag sudah sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut jelas menjadi ancaman tersendiri bagi waduk tersebut.
Karena, satu dampak terparah dari semakin asamnya kadar air di waduk ini, bisa menyebabkan korosi pada kontruksi bendungan.
Hal itu terjadi saat lapisan beton yang terkelupas akibat penurunan kualitas air (H2S, di atas ambang batas).
Peralatan elektromekanik juga terkena dampak korosif akibat kandungan H2S yang tinggi.
"Karena pencemaran yang tinggi, air tersebut sangat asam. Sudah kami teliti, karena air tersebut bersifat asam, maka timgkat korosifitas menjadi sangat tinggi. Itu terjadi karena sisa pakan ikan yang tidak dimakan, jumlahnya ratusan ton. Karnena itu KJA itu tidak ramah lingkungan," tegas Djoko.
Untuk itulah, PJT II Jatiluhur segera melakukan langkah-langkah strategis untuk meminimalisasi resiko kerusakan yang bisa mengancam keberadaan bendungan tersebut.
"Dengan target zero KJA pada akhir 2018. Penertiban KJA setiap hari harus mencapai 212 petak KJA," tegas Djoko saat pertemuan bersama IKAL PPSA XXI.
Untuk itu pula, PJT II sudah menyiapkan solusi bagi para petani KJA di bendungan Jatiluhur. Program pemberdayaan masyarakat di sekitar Bendungan Jatiluhur melalui kegiatan perikanan berkelanjutan (culture based fisheries/CBF).
PJT II pun telah menggandengan Kementerian Kelautan Dan Perikanan untuk pelaksanaan CBF, yang ditandai dengan penandatangan kerjasama pada 14 September 2017 lalu.
Sejah ini juga sudah dilakukan penebaran benih ikan sejumlah 7,8 juta ekor pada Mei 2018 sebagai langkah awal penerapan CBF. Adapun jenis ikan yang ditebar bandeng (50 persen), patin (30 persen) dan nila (20 persen).
"Tujuan CBF untuk perbaikan ekologi lingkungan bendungan. Ikan bandeng akan hidup di daerah apotik atau paling dasar, patin di daerah potik dan nila di permukaan," jelasnya.
Berbeda dengan KJA, ikan yang ditebar, tidak menggunakan kerambah dan tidak diberikan pakan. Ikan bandeng air tawar, patil, dan nila tersebut akan hidup secara alamiah, dan akan memakan apapun yang ada di danau.
"Termasuk juga sisa pakan, planton, dan apapun yang ada di dunau. Dengan begitu air diharapkan aka jauh lebih sehat, baik dibandingkan di atasnya ada kerambah," jelas Djoko.
Para petani KJA juga akan bisa menikmati panen dari penerapan CBF setiap empat bulan sekali. Ekonomi warga sekitar pun menjadi sejahtera melalui penerapan CBF.
Berdasarkan catatan Badan Litbang Perikanan dan Kelautan pada 2012, kandungan fosfor di Jatiluhur 468,76 ton. Dibandingkan dengan volume air yang ada, kandungan bahan kimia berbahaya sudah mencapai 50,1 miligram per liter.
Padahal, baku mutu air yang layak untuk perikanan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 adalah 0,2-1 miligram per liter.
Karena dilakukan di air yang sudah tercemar, budidaya ikan di waduk-waduk itu telah melangar empat peraturan. Yakni, melanggar PP No 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup, dan UU No 12/2012 tentang Pangan.(*)