Guru Besar Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum USU OK Saidin pernah terbang ke Belanda untuk melakukan penelitian tanah Kesultanan Deli bersama Edy pada 2005 lalu.
"Yang pergi ke Belanda mengambil peta pertanahan Sultan Seli itu, saya bersama Dr Edy Ikhsan. Waktu itu, kami ingin melihat bagaimana sebenarnya posisi hak-hak tanah Kesultanan Deli. Jawabannya sangat sederhana. Kalau dia tidak termasuk dalam grant sultan, artinya tidak ada hak perseorangan, maka tanah milik kesultanan," kata Saidin.
Meski demikian, Saidin menyebut, hal yang perlu dipertanyakan adalah proses ganti rugi yang harus dibayar kepada pihak kesultanan, karena lahan tersebut merupakan tanah konsesi.
"Tapi, BPN mengambil sikap mendua. Menduanya begini, kalau memang tanah konsesi mengapa tak diambil raja? Lalu, kalau orang sudah menguasai lebih dari 30 tahun memeroleh hak secara kedaluwarsa. Tapi, dalam hukum adat tidak mengenal hukum kedaluwarsa. Hukum agraria kan tunduk pada hukum adat. Masa penggarap sekarang yang dibayar (ganti rugi) oleh pemerintah, bukan pemilik (tanah konsesi). Kan aneh," kata Saidin.
Ia mengatakan, seyogianya ketika tanah tidak lagi dipergunakan perkebunan, seharusnya dikembalikan ke pihak kesultanan. Bukan justru dinasionalisasi menjadi milik negara.
"Kenapa tidak bisa dinasionalisasi? Karena nasionalisasi pemaknaannya mengambil alih milik asing menjadi milik negara. Tanah kan bukan milik asing," katanya.
Berdasar penelitian mereka, tanah yang bersengketa di Tanjungmulia Hilir merupakan tanah konsesi, pemerintah seharusnya tidak salah orang dalam proses ganti rugi.
"Tanah konsesi bayarnya harus ke sultan, bukan ke penggarap. Artinya, penggarap dan pemalsu grant sultan sama-sama melanggar hukum. Yang satu memalsukan surat, yang satu lagi menduduki tanah orang lain. Boleh sekarang kerabat ahli waris Sultan Deli ditangkapi, karena memalsukan surat, tapi tidak boleh ganti rugi tidak dibayar ke Kesultanan Deli," ujarnya.
Lantas kenapa tanah konsesi tersebut kini diduduki penggarap?
Saidin menjelaskan, di dalam konsep tanah harus tunduk pada hukum adat.
"Untuk mendapatkan hak secara kedaluwarsa merupakan konsep hukum barat, bukan konsep hukum adat. Sementara Pasal 3 dan 5 UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria mengatakan, hak-hak tanah harus tunduk pada hukum adat. Karena itu, selamanya tanah konsesi milik kesultanan. Kalau ganti rugi dibayarkan kepada penggarap, maka pemerintah sudah keliru," katanya. (ase)
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Mafia Lahan Tol Medan-Binjai Ditangkap, Pakar Hukum: Tak Ada Grant Sultan di Tanah Konsesi