TRIBUNNEWS.COM - Bupati Purbalingga nonaktif, Tasdi dijatuhi vonis penjara selama 7 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jawa Tengah, Rabu (6/2/2019).
Selain itu, Majelis Hakim juga mencabut hak politik Tasdi selama tiga tahun.
Politisi PDI-P itu dinyatakan bersalah melanggar dua pasal sekaligus, yaitu suap dan gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b UU Tindak Pidana Korupsi.
Hakim merinci, terutama penerimaan gratifikasi dari berbagai sumber.
Baca: Dituntut 8 Tahun Penjara, Ini Sikap Bupati Nonaktif Purbalingga Tasdi
Berdasar fakta sidang, penerimaan gratifikasi dari anak buah terdakwa di Pemkab Purbalingga, dan rekan sejawatnya termasuk Wakil Ketua DPR RI, Utut Adianto.
"Total gratifikasi selama 2017-2018 Rp 1,195 miliar," ujar hakim anggota Robert Pasaribu, membacakan putusan, Rabu (6/2/2019).
Rinciannya, Tasdi menerima uang dari Hamdani Kusen senilai Rp 300 juta, dari jajaran kepala dinas Pemkab Purbalingga senilai Rp 715 juta, dan Utut Adianto Rp 180 juta.
Sementara, pemberian uang Rp 100 juta dari Ganjar Pranowo yang disebut Tasdi dalam sidang tidak dimasukkan dalam gratifikasi.
"Saksi Utut memberi uang Rp 180 juta, namun uang tidak diserahkan ke bendahara partai, tapi disimpan di dalam rumahnya," tambah hakim.
Baca: Tasdi Dituntut 8 Tahun Penjara, Dicabut Hak Politik dan Didenda Rp 300 Juta Subsider 6 Bulan
Sebagai kepala daerah, Tasdi dilarang menerima suap atau gratifikasi.
Tasdi dianggap telah memenuhi semua unsur dalam pasal gratifikasi, yaitu penyelenggaran negara, dianggap suap, dan perbuatan yang berdiri sendiri.
Hakim juga mengabaikan pembelaan dari kuasa hukum Tasdi yang menyebut pemberian dari Utut bukan bagian dari gratifikasi.
Terkait Kasus Suap dan Gratifikasi
Menurut hakim, pemberian dari Utut bagian dari suap.
Mestinya, kata hakim, sesuai aturan, gratifikasi tidak berlaku andai dilaporkan terhitung 30 hari sejak diterima.
"Tapi, tidak pernah dilaporkan ke KPK. Unsur pemberian itu terpenuhi," tambah dia.
Hakim pun sepakat, Tasdi telah secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 12 huruf a dan b.
Sementara terkait pencabutan hak politik, Ketua Majelis Hakim, Antonius Widjantono menerangkan hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga masyarakat dari calon pemimpin yang koruptif.
"Memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama tiga tahun setelah selesai menjalani pemidanaan," kata Antonius, dalam sidang, Rabu (6/2/2019).
Hakim melanjutkan, hukuman tambahan berupa hak politik telah sesuai dengan Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi dan KUHP.
Hukuman tambahan dipandang perlu agar seorang yang terbukti korupsi tidak langsung menjabat dalam jabatan publik.
Setelah menjalani hukuman pidana, hukuman tambahan itu kemudian berlaku.
Tasdi pun dilarang untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik setelah keluar nanti, minimal selama tiga tahun.
Pencabutan hak politik juga dipertimbangkan banyak hal.
Hal memberatkan antara lain perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah korupsi, mencederai amanah sebagai kepala daerah.
Kemudian, hal meringankan, terdakwa sopan dan kooperatif.
"Terdakwa mengakui kesalahan dan menyesal, dan mempunyai tanggungan keluarga," tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hakim: Total Gratifikasi yang Diterima Tasdi, Bupati Purbalingga Nonaktif Rp 1,195 Miliar"