TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Petani di Indonesia terbiasa melakukan pembakaran lahan gambut untuk menyuburkan tanah.
Kebakaran besar yang terjadi pada tahun 2015 di beberapa provinsi di Kalimatan, membuat Badan Restorasi Gambut (BRG) mulai mengadakan pendekatan ke beberapa tokoh petani di desa-desa kunci.
Dari pendekatan ini, beberapa diantaranya mulai terketuk dan sadar akan bahaya dari pembakaran lahan.
Kelompok petani juga dibentuk untuk mewadahi berbagai kegiatan.
BRG juga melakukan edukasi untuk pertanian yang ramah lingkungan.
Salah satu petani yang ada dalam program inisiasi BRG adalah Theti Numan Agau.
Sebelum menjadi petani binaan dari BRG, Theti mengelola lahan kecil tempat ia menanam padi.
Baca: 10 Hektar Lahan Gambut di Aceh Jaya Terbakar, Lokasinya Sulit Dijangkau Armada Damkar
Setiap tahun, ia bisa panen 30 karung beras dan hasil itu hanya cukup untuk makan saja selama setahun.
Untuk lauk dan kebutuhan lainnya, ia harus bekerja serabutan seperti menyadap karet dan mencari ikan.
Hasil kerja serabutan ini juga terhitung lebih melelahkan dengan hasil yang tidak menentu.
“BRG membuat Pelatihan Sekolah Lapang selama 10 hari. Disana kami diajarkan metode pertanian ramah lingkungan untuk menyuburkan lahan. Kami tidak lagi membakar lahan dan diajarkan untuk membuat pupuk alami,“ ujar Theti.
Melalui Sekolah Lapang dibangun Mini Demplot Pengolahan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) yang dikelola para kader.
Mereka membentuk kelompok pengelola demplot.
“Dalam satu kelompok ada 10 petani. Tadinya jumlah ini terbagi rata, yaitu lima pria dan lima perempuan. Namun usaha ini kurang mendapat sambutan dari petani pria. Saya mengubah komposisi kelompok menjadi 10 perempuan dan semua berjalan dengan lancar,” jelas Theti.