TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dipastikan tetap akan memberikan dukungan di pemilihan presiden 2019. Namun, sebelum menentukan dukungan pihaknya akan mempertimbangkan beberapa hal.
"Saya nggak boleh ngomong (soal dukungan). Sekarang saya juga belum menentukan. Awal April nanti saya akan menentukan," kata Gus Sholah ketika ditemui di Surabaya, Rabu (20/2/2019).
Gus Sholah menegaskan bahwa seluruh masyarakat, termasuk NU diharapkan untuk ikut serta dalam pemungutan suara mendatang. Setiap suara yang diberikan akan menentukan arah bangsa lima tahun ke depan.
"Pemilu menentukan masa depan bangsa, baik presiden maupun anggota DPR. Pemilu juga menentukan berbagai keputusan, dan itu juga dimulai dari sistem politik di pemilu," lanjut Gus Sholah.
Menurut pria yang pernah menjadi Calon Wakil Presiden ini pada pemilu 2004 ini, masyarakat diharapkan aktif dalam pemilu tanpa menggunakan identitas agama untuk kepentingan kelompok tertentu saja.
"Tidak boleh kalau kita mengangkat identitas agama dengan cara tidak baik," katanya.
"Misalnya, mengutamakan kelompok atau partai tertentu. Berbeda halnya kalau agama dibuat kepentingan bersama, tidak masalah," ujar adik kandung Presiden RI Ketiga, KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) ini.
Ia mencontohkan gerakan resolusi jihad yang diputuskan melalui fatwa para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 1945 silam. Yang mana, resolusi itu menjadi gerakan umat untuk berperang melawan penjajah.
"Ada beberapa politisasi agama yang baik. Misalnya, resolusi jihad. Itu kan politisasi agama. Kalau tidak ada resolusi jihad, tidak ada peristiwa 10 November 1945," kata putra KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU ini.
"Agama tidak boleh dipakai untuk politik identitas atau politik praktis. Namun, kalau untuk politik kebangsaan, silakan. Sekarang, terpenting adalah merumuskan politik kebangsaan yang jelas, jangan rancu," katanya.
Sayangnya, gerakan politisasi agama yang saat ini muncul seringkali mengabaikan batasan sehingga menimbulkan gesekan antar umat beragama.
"Gesekan yang terjadi saat ini karena tidak memahami batasan. Misalnya, kalau di masjid kita mengampanyekan partai politik, tidak boleh. Mengampanyekan presiden, Gubernur, atau pun walikota /bupati tidak boleh," katanya.
"Beda halnya kalau agama untuk kepentingan bersama, keadilan, pemerataan, kebutuhan ekonomi, tidak apa, boleh. Yang tidak boleh, jangan sampai dibuat untuk kepentingan partai politik tertentu," tegasnya kembali.