Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNNEWS.COM, BANJARNEGARA - Jarak dua desa di dua kabupaten, Desa Larangan Kecamatan Pagentan Banjarnegara dan Desa Jebeng Plamlitan Kecamatan Sukoharjo Wonosobo sebetulnya tidaklah terpaut jauh.
Dua desa lain kabupaten itu hanya dipisahkan oleh sungai yang memisahkan.
Tetapi waktu tempuh antar desa dan kabupaten tetangga itu bisa berjam-jam melalui rute memutar, jika tiada akses penyeberangan.
Karena itu, jembatan jadi akses penting bagi warga untuk menghubungkan mereka dengan daerah lain.
Dari situ, roda ekonomi berputar. Akses pendidikan untuk anak-anak desa pun terjamin lancar.
Baca: Tanggapan Indra Sjafri soal Tuduhan Marinus Wanewar Lakukan Pencurian Umur
Sayangnya, kondisi jembatan yang dibangun secara swadaya oleh warga itu amat memprihatinkan.
Pemerintah belum membangun jembatan permanen kembali usai jembatan gantung di tempat itu putus akibat banjir, 2016 lalu.
Warga kemudian membangun jembatan darurat sepanjang sekitar 60 meter menggunakan batang bambu yang saling dikaitkan.
Termasuk pagar jembatan berbentuk segitiga untuk pengaman warga yang melintas.
Tiang jembatan pun tak cukup kokoh karena hanya dibuat dengan tatanan batu yang diikat dengan bambu.
Baca: Bukan Hanya Kiper Chelsea, Messi Ternyata Juga Pernah Menolak Diganti Pelatih
Bunyi gemeretak saat jembatan dilindas roda kendaraan cukup menegangkan syaraf penyeberang.
"Dulunya itu jembatan gantung, terus putus akibat banjir,"kata Kepala Desa Larangan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara
Saat debit air sungai normal, jembatan masih terlihat perkasa dilintasi sejumlah kendaraan.
Tetapi lain halnya, saat debit air naik, bangunan itu terlihat sekali kerapuhannya.
Intensitas hujan tinggi acap membuat sungai meluap hingga berarus deras.
Tinggi air bahkan bisa mencapai atau melebihi lantai jembatan.
Saat itu, penampakan jembatan yang terus digoyang arus banjir berubah menyeramkan.
Kondisi itu tentu saja menyiutkan nyali warga untuk melintas. Tetapi, sebagian warga rupanya tetap nekat menyeberang. Meski di depan maut menantang.
Alasannya, tidak ada pilihan jalur lain untuk mengakses daerah tujuan, kecuali melalui rute memutar sejauh sekira 1 sampai 1,5 jam.
Aksi nekat pengendara menyeberang saat sungai meluap ini pun sempat direkam warga hingga viral saat diunggah di media sosial.
Lantai jembatan mestinya sangat licin karena terguyur hujan. Jembatan reot itu pun bisa seketika roboh atau hanyut tersapu arus.
Tetapi tak mungkin jembatan ditutup mengingat pentingnya akses itu bagi masyarakat.
Warga hanya dapat mengingatkan penyeberang saat debit air meningkat.
Untungnya, jembatan itu juga selalu diawasi sang penjaga saat banjir melanda.
Ia siap menyeberangkan warga yang tak berani melintas dengan imbalan seikhlasnya.
"Kalau gak berani melintas, ada penjaga yang menyeberangkan,"katanya
Insiden sempat mewarnai aksi nekat warga. Jembatan ini pernah nyaris memakan korban.
Harto mengungkapkan, seorang pengendara sempat terpeleset saat menyeberangi jembatan yang licin selepas hujan.
Padahal debit air sungai tengah meningkat.
Nahas, pengendara itu pun tercebur ke sungai beserta kendaraannya.
Beruntung pria itu selamat, meski kendaraannya hanyut terbawa arus.
"Orangnya selamat, sepeda motornya hanyut,"katanya
Jika jembatan permanen yang kokoh saja roboh karena terjangan arus, apalagi jembatan bambu yang kekuatannya tak seberapa.
Jembatan darurat ini tak cukup kuat menahan terjangan arus hingga berkali-kali lenyap tersapu banjir.
Usai terputus, warga biasa membangun jembatan itu kembali menggunakan bahan alam yang murah dan mudah didapatkan.
Warga pun harus bersiap menyambung kembali jembatan itu jika nanti putus lagi karena banjir.
Demi akses tetap terhubung, warga rela merawat jembatan yang membahayakan sendiri keselamatan mereka. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Cerita 2 Warga Desa yang Bertaruh Nyawa Tiap Melintas di Jembatan Bambu Penghubung Dua Kabupaten,