TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia belum dapat mewakili aspirasi rakyat secara utuh, selama sistem dalam partai politik (Parpol) belum dilakukan reformasi.
Bahkan bobroknya sistem demokrasi yang terjadi saat ini, dianggap wujud dari karut marutnya sistem kepartaian.
Hal itu disampaikan Pengamat politik dan juga akademisi di President University, Muhammad A. S. Hikam dalam Seminar Kebangsaan, dengan tema Bersatu Dalam Kebhinekaan untuk Mewujudkan Cita-cita Proklamasi di Tahun Politik, Sabtu (23/3/2019) di Hotel Grand Setiakawan Solo, Jawa Tengah.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, seminar tersebut merupakan rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun (Harlah) ke-65 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang diadakan oleh DPC GMNI Solo.
"Kalau saya amati, hampir 20 tahun reformasi belum menyentuh sistem kepartaian di Indonesia. Karena kondisi itu, sehingga menyebabkan percepatan dalam kemuduran berdemokrasi, " kata AS Hikam.
Baca: Soal Rencana TKN Turunkan Menteri sebagai Jurkamnas Jokowi-Maruf, BPN: Ini Defisit Demokrasi
Disampaikannya, sistem perekrutan dalam partai politik yang diterapkan saat ini dianggap masih jauh dari kata ideal.
Pasalnya alih-alih berebut simpati suara dari rakyat, justru yang terjadi malah sebaliknya.
Yaitu mengorbankan esensi dari demokrasi.
Sehingga wajar, dengan sistem yang diterapkan tersebut justru menghasilkan legislator yang tidak memiliki kualitas mumpuni.
Serta membuat kinerjanya semakin buruk dari tahun-ketahun.
"Dalam sistem kepemiluan, parpol merupakan peserta pemilu. Mereka yang menghadirkan para caleg termasuk calon pimpinan eksekutif. Tapi karena sistem yang diterapkan saat ini hanya persoalan elektoral, sehingga bukan kualitas kader yang diutamakan. Melainkan hanya mempertimbangkan soal popularitas dan modal yang dimiliki para kandidat, "jelasnya.
Karena kondisi itu, lanjut dia, sangat wajar jika regulasi dan kebijakan yang dihasilkan pemerintah terkesan jauh dari ideal dan tidak berkualitas.
Mengingat tidak semua wakil rakyat yang duduk di kursi kekuasaan maupun parlemen tidak mampu merumuskan keinginan dan kebutuhan rakyat.
"Jadi kalau ingin ada perubahan, harusnya lakukan reformasi terlebih dahulu sistem kepartaiannya, "tandas dia.