Perbuatan itu dilakukannya setelah film dewasa atau berkonten pornografi.
Namun, ia tidak langsung mencari anak usai menonton film porno tersebut.
"Yang melaporkan saya di pihak berwajib cuma satu saja. Saya mengaku 11 anak usai ditanya oleh Polresta Mojokerto."
"Saya sebenarnya tidak tertarik dengan anak anak. Susah mengajaknya, ada yang saya bujuk tapi ditolak," ucapnya.
"Saya iming-imingi anak-anak dengan kasih jajan. Saya tidak menganiaya anak-anak atau memaksa saat melakukan perbuatan," imbuhnya.
Aris mengaku penghasilannya sebagai tukang las hanya Rp 280 ribu sepekan.
Penghasilan yang minim dijadikannya alasan untuk tidak melampiaskan nafsunya kepada wanita dewasa.
Diisolasi
Muhammad Aris selaku narapidana kasus predator anak di bawah mendapat pengawasan khusus dari pihak Lapas Klas II B Mojokerto. Hal itu dikarenakan jenis kasus yang dilakukannya.
Pihak lapas menempatkannya di sebuah sel khusus untuk mencegah amukan dari para narapidana lainnnya.
"Kami memisahkan terdakwa dengan narapidana lainnya di sel isolasi dengan pengawasan dari petugas kami."
"Karena terdakwa merupakan kasus khusus. Dikhawatirkan ada warga binaan yang kecewa."
"Sehingga menimbulkan rasa emosional," ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Lapas kelas II B kota Mojokerto, Tendi Kustendi.
Menurut Tendi, Aris tinggal bersama 12 narapidana lainnya di ruang isolasi tersebut dan mendapat pengawasan dari petugas lapas.
Aris akan berada di sel khusus tersebut sampai menunjukkan perubahan perilaku dan tidak membahayakan bagi narapidana di sekitarnya.
"Selama ini, terdakwa ikut ngaji, siraman rohani, juga beribadah, jadi tidak ada indikasi kelainan jiwa" ujarnya.
Kalau perlakuan, kami samakan dengan warga binaan yang lain. Seperti makan, mandi dan ibadah," imbuhnya.
Untuk pengawasan dan psikis, Aris selaku narapidana juga diberikan konseling dan pembinaan dari wali napi.
"Sampai saat ini terdakwa berkelakuan baik di lapas, terdakwa berperilaku diam."
"Mungkin terdakwa memikirkan perbuatannya masa lalu, tapi tetap kami awasi," ujarnya.
Ia mengaku belum menerima surat putusan atas hukuman suntik kebiri dari Kejaksaan Negeri Mojokerto.
"Pada dasarnya lapas hanya memfasilitasi pelaksanaan hukuman kebiri. Kami cuma mengikuti saja," ujarnya.
IDI Tolak jadi Eksekutor Kebiri Kimia
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terpidana kasus pelecehan seksual anak, karena melanggar kode etik kedokteran dan sumpah dokter.
Dokter yang tergabung dalam IDI juga tak memiliki kompetensi melakukan kebiri.
"Masalah kebiri kami terikat dengan fatwa majelis kehormatan etik Indonesia memang kode etik kedokteran Indonesia tidak memungkinkan kita melakukan atau memberikan eksekusi itu."
"Beresiko sekali," kata Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Pengurus Besar IDI, Dr dr Pujo Hartono, di RSUD Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, Senin (26/8).
Hal ini disampaikan menyusul adanya putusan Pengadilan Tinggi Surabaya terhadap terpidana kasus pelecehan seksual sembilan anak di Mojokerto, Muhammad Aris (20), yang dihukum 12 tahun penjara dan hukuman tambahan suntik kebiri kimia.
Putusan itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mojokerto sebelumnya.
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya itu berkekuatan hukum tetap atau inkraht karena Aris selaku terpidana tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dalam rentang 14 hari pasca-putusan.
Pujo menjelaskan, selama ini, peran dokter saat jaksa melaksanakan atau eksekusi hukuman mati terhadap terpidana sebatas memastikan meninggal atau belum.
Dan belum ada kompetensi untuk menjadi eksekutor hukuman suntik kebiri kimia.
"Ini memang sangat berisiko untuk profesi," kata dia.
Pujo menegaskan mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberatnya kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak.
Namun, pihaknya menolak dilibatkan sebagai eksekutor hukuman tersebut.
"Pelakunya harus dihukum seberatnya karena dampak dan trauma kepada korban. Kami yakini itu, kami menyarankan hukum seberatnya," tutup dia.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Kesehatan, Prof dr Akmal Taher, SpU(K) mengatakan akan mencari jalan keluar bersama-sama dengan IDI apabila hal tersebut bertentangan dengan kode etik keprofesian atau melanggar sumpah jabatan kedokteran.
Namun, atas perintah pengadilan sebagaimana putusan, maka putusan itu harus dilaksanakan.
"Kalau memang seperti itu nanti kita akan duduk sama-sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga untuk mencari jalan keluarnya bagaimana supaya itu bisa dijalankan," ujar Akmal.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) masih mengkoordinasikan petunjuk teknis (juknis) perihal eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus pencabulan Muhammad Aris, menyusul putusan banding dari Pengadilan Tinggi Surabaya yang telah inkrah.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Richard Marpaung mengatakan, putusan Pengadilan Tinggi Surabaya perihal hukuman tambahan kebiri kimia yang menguatkan vonis Pengadilan Negeri Mojokerto harus dilaksanakan.
Hal itu telah sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Putusan dan eksekusi putusan tersebut akan menjadi kali pertama dilaksanakan di Indonesia.
Namun, belum ada petunjuk teknis pelaksanaan hukuman tersebut.
Oleh karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung terlebih dahulu.
"Sehingga untuk mengeksekusinya kami perlu berkoordinasi lebih dulu dengan pimpinan di Kejaksaan Agung," ujarnya.
Menurut Richard, Kejari Mojokerto telah meminta sejumlah rumah sakit di wilayah kabupaten setempat untuk melaksanakan hukuman suntik kebiri kimia untuk terpidana Muhammad Aris ini.
Namun, tak satupun yang bersedia melaksanakannya dengan alasan belum tersedia fasilitasnya. (tribun network/tribun jatim/coz)