Hilangnya daya rekat itu akibat gelombang S (S-waves) gempa bumi.
Ia menyebutkan likuifaksi akibat gempa pernah terjadi di gempa Madrid 1811-1812, gempa Tangshan China 1976, gempa San Fransisco 1989, gempa Niigata 1994, gempa Kobe 195, dan gempa Christchurch Selandia Baru 2010-2011.
Dari pemotretan satelit Digital Globe terbaru di wilayah Petobo, sekaligus dibandingkan sebelum dan sesudah gempa 28 September 2018, dampaknya memang sangat mengerikan. Separo wilayah Petobo bergerak, berubah, dan dihempas likuifaksi.
Dari posisinya, wilayah ini berada di jalur padat penduduk karena terletak di sepanjang Jalan HM Soeharto, jalan raya dari Kota Palu menuju bumi perkemahan Ngata Baru, pasar dan terminal Bulili di Palu Selatan.
Pergerakannya dari timur ke barat yang dipengaruhi kontur Petobo yang menurun ke arah barat di lembah Palu.
Menurut Rovicky, jenis litologi sedimen lembah Palu ini berupa pasir lempung.
"Jika dilihat dari foto satelit, ini tipe likuifaksi siklik di daerah bermorfologi landai," kata geolog lulusan UGM ini.
Dilihat dari kondisi terkini dan melihat peta geologinya, menurut Lesto daerah terdampak itu sudah tidak aman lagi untuk area permukiman.
Sedangkan menurut Rovicky, wilayah di Palu dan Sigi yang terkena likuifaksi di zona patahan, sebaiknya tidak lagi dijadikan zona permukiman permanen.
Ia merekomendasikan bahwa daerah tersebut jadi ruang terbuka hijau saja.
Jika didirikan bangunan, sebaiknya tidak permanen dan dengan rekayasa teknik guna mengurangi dampak kebencanaan.
Namun, menurut Rovicky, ini perlu survei langsung dan pemetaan lapangan sejak dini, mengingat peristiwanya baru saja terjadi, dan singkapan-singkapan batuannya masih mudah diamati.
(Tribunnews.com/Inza Maliana/Xna)