Namun hingga saat ini, pemerintah Aceh menyebut qanun belum mengatur soal korupsi.
Syariat Islam di Aceh berlaku setelah perjanjian perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah di Helsinki, Finlandia, tahun 2005.
Wakil Bupati Aceh Besar, Husaini, mengakui bahwa qanun belum menjangkau seluruh kasus hukum.
"Syariat Islam di daerah kami belum berjalan secara menyeluruh. Contohnya, belum ada hukuman potong tangan untuk koruptor atau pencuri, belum ada hukuman pancung, dan masih banyak lainnya yang belum ada," ujarnya.
Pengamat hukum Islam dari UIN Ar Raniry, Irwan Abady, menilai hukuman cambuk untuk anggota Majelis Permusyawaratan Ulama bukan cerminan penegakan hukum 'tajam ke atas'.
Dasar argumentasi Irwan, anggota majelis ulama bukan pengambil kebijakan.
"Kalau yang dicambuk politikus dan dia ulama besar seperti wakil bupati, itu baru menggambarkan pemerataan hukum syariat," ujarnya Irwan.
"Hukuman cambuk anggota MPU ini hanya berpengaruh pada nama baik institusi tersebut," kata dia.
Eksekusi cambuk di Banda Aceh, Kamis (31/10) ini, adalah yang kedua yang tidak dilaksanakan di pekarangan masjid.
Selain Mukhlis, dan N, dan seorang perempuan berusia 18 tahun berinisial R juga dicambuk tujuh kali.