TRIBUNNEWS.COM - Warganet, terutama yang tinggal di Kota Solo dan sekitarnya tengah dihebohkan dengan video viral serpihan genting untuk membeli es cendol dawet.
Sejumlah netizen dibuat keheranan dan bertanya-tanya, kenapa benda tersebut bisa digunakan untuk membeli.
Untuk mengetahui kelengkapan cerita dari video viral serpihan genting untuk membeli es cendol dawet, berikut fakta-faktanya yang sudah dirangkum Tribunnews.com.
Baca: Inilah 5 Kepala Daerah yang Mendapat Pujian dari Megawati di Panggung Rakernas I PDI-P
Orang yang pertama kali memviralkan
Diketahui video ini pertama kali diunggah oleh seorang warganet bernama Nuri Cahyo Utomo di insta story.
Ketika itu, Nuri men-tag akun @jelajahsolo.
Beberapa saat kemudian, Nuri mendapat direct message dari akun @jelajahsolo untuk meminta video yang telah dirinya rekam.
"Langsung di DM sama @jelajahsolo," katanya saat dihubungi Tribunnews, Senin (13/11/2020).
Nuri mengaku kaget dengan viralnya video miliknya. Ia menjelaskan waktu itu dirinya hanya iseng untuk membagikan momen tersebut di sosial medianya.
Merupakan bagian dari tradisi
Nuri mengatakan kegiatan yang ada di dalam video adalah tradisi budaya yang berlangsung saat prosesi pernikahan.
Namun, dirinya tidak mengetahui secara pasti nama dari tradisi tersebut.
"Itu adat istiadat, budaya nikahan seperti itu," ujar Nuri.
Nuri menceritakan video tersebut diambil ketika menghadiri prosesi pernikahan saudaranya di Jalan Kutai Barat, Sumber, Banjarsari, Kota Solo, Sabtu (11/1/2020) siang.
Ia membenarkan, jika serpihan genting yang ia bawa dijadikan alat tukar untuk mendapatkan es cendol.
"Pecahan genting cari dulu satu buat satu gelas," kata Nuri.
Menurut pria kelahiran 5 November ini, siapa saja boleh mendapatkan es cendol asal memiliki pecahan genting.
Baik keluarga besar kedua mempelai, maupun tamu undangan.
Nuri menambahkan, berdasarkan pengakuannya trandisi tersebut sudah berlangsung sejak lama.
Namun sekarang, tradisi tersebut telah banyak masyarakat yang meninggalkan.
"Kalau di daerah sini jarang, terakhir kak saya yang nikah 7 tahun lalu," ujarnya.
Penjelasan budayawan
Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum mengatakan tradisi yang viral di media sosial tersebut bernama dodol dawet kreweng.
Bani menjelaskan tradisi dodol dawet kreweng sudah sejak ratusan tahun yang dilestarikan oleh masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal berdekatan dengan keraton-keraton.
"Tradisi pengaruhnya dari keraton," kata Bani.
Bani melanjutkan, tradisi ini merupakan rangkaian ketika orang tua ingin menikahkan anaknya.
Baca: Jadwal Salat 14 Januari 2020, dari DKI Jakarta, Kota Surabaya, hingga Kota Medan
Filosofi dari dodol dawet kreweng
Tradisi dodol dawet kreweng syarat akan filosofi dan nilai-nilai yang dikandungnya.
Bani menjelaskan tradisi ini merupakan wujud orantua terhadap rasa bersukur yang kemudian di disimbolkan melalui benda-benda di tradisi dodol dawet kreweng.
Seperti kreweng atau dalam bahasa Indonesia pecahan genting yang memiliki filosofi kemakmuran.
"Kreweng saja bisa untuk beli," kata Bani.
Sedangkan, es cendol sendiri memiliki makna memiliki keturunan yang banyak.
Ini dapat dilihat dalam sajian es yang memiliki beberapa cendol dalam satu porsinya.
Harapan akan keturunan yang banyak juga terilhami dari pepatah Jawa.
"Sugeh anak sugeh rezeki (Banyak anak, banyak rezeki)," tandasnya.
Bani melanjutkan, kemudian orangtua akan mengumumkan kepada para tamu undangan pihak keluarga akan menjual es dawet dengan alat membayarnya berupa kreweng.
Biasaya pihak yang menjual merupakan ibu dari pengantin putri.
"Kemudian bapaknya yang mengumpulkan uangnya (red, kreweng)," tambah Bani.
Setelah uang hasil penjualan tersebut akan disimpan di sentong.
Jumlah sentong akan bertambah jumlahnya, saat orangtunya kembali menikahkan anak-anaknya yang lain.
Ketika semua anak sudah menikah, akan diadakan tradisi bernama tumplak punden.
Bani menjelaskan tradisi tumplak punden merupakan simbol dari selesainya tugas orangtua terhadap anak-anaknya.
Kemudian kreweng-kreweng yang terkumpul akan di berikan kepada anak laki-laki dari keluarga tersebut.
"Sebagai simpol bekal mengarungi kehidupan," jelasnya.
Bani mengatakan dua tradisi dodol dawet kreweng maupun tumplak punden dalam ilmu budaya termasuk dalam folklor sebagian lisan. (*)
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)