TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto memberikan tanggapan soal kasus ZA.
ZA (17) adalah seorang pelajar SMA yang membunuh begal demi melindungi pacar yang hendak diperkosa.
Menurut Agus, siapapun yang melakukan tindak pidana meski masih dibawah umur atau sudah dewasa bisa dikenakan hukuman.
Hukuman itu sesuai dengan ketentuan pasal Pasal 1 ayat (1) KUHP.
"Suatu perbuatan yang melanggar UU maka dilakukan proses pidana, sepanjang memenuhi dua alat bukti," ujar Agus Riwanto kepada Tribunnews.com, Selasa (21/1/2020).
Untuk kasus yang menimpa ZA, Agus menuturkan masih ada proses lanjutannya.
Pasalnya, kasus ZA baru memasuki proses penyidikan dan dakwaan.
Setelahnya ZA akan menghadapi mekanisme pembuktian dalam peradilan pidana anak.
"Sesuai ketentuan UU No 11 tahun 2012 tentang peradilan pidana anak, ZA tidak langsung ditahan," ujarnya melalui sambungan telepon.
Nantinya ZA masih menghadapi proses pengadilan, lalu akan dibuktikan apakah benar ZA membunuh sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Jika memang ZA melakukan tindakan itu karena membela diri, nanti bisa dibuktikan dalam sidang pengadilan," tutur Agus.
Di dalam sistem peradilan pidana, lanjut Agus, ada dua kategori dalam mencari kebenaran yakni formil dan materil.
Kebenaran yang ingin dicapai dalam hukum acara perdata adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang hanya didasarkan pada formalitas-formalitas hukum.
Sementara kebenaran yang diutamakan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materil.
Yaitu yang bukan hanya memerlukan formalitas hukum, akan tetapi harus ditunjang pula dengan pengujian terhadap formallitas hukum itu dimuka siding pengadilan.
Dan juga fakta-fakta yang ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutuskan perkara.
"Formil itu kebenaran atas apa yang tertulis dalam UU."
"Sedangkan kebenaran materil adalah kebenaran berdasarkan fakta-fakta hukum dalam proses peradilan yang dibuktikan dalam sidang peradilan," kata Agus.
Jika melihat kasus ZA, menurut Agus, bisa saja dibuktikan dalam konteks ia membela diri.
Untuk konteks membela diri, maka terdapat di dalam ketentuan Pasal 49 KUHP yang berbunyi:
1. Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
"Jika unsur-unsur itu terpenuhi maka ZA disebut sebagai tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan terpaksa."
"Dalam hukum pidana disebut sebagai noodweer atau pembelaan terpaksa (pembunuhan dalam keadaan darurat)," ujar Agus.
Karenanya, menurut Agus, publik diharuskan sabar menunggu untuk bisa membuktikan kasus ZA di pengadilan.
Ia pun menyarankan supaya masyarakat tidak menjustifikasi terlebih dahulu atas kasus yang menimpa ZA.
Update Tuntutan ZA
Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut ZA dengan tuntutan satu tahun pembinaan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), Selasa (21/1/2020), melansir Suryamalang.com.
Tidak ada tuntutan untuk pasal pembunuhan berencana dalam persidangan yang berlangsung cepat di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen itu.
Dalam persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan itu JPU lebih menekankan pada pasal penganiayaan, bukan pasal pembunuhan.
(Tribunnews.com/Maliana, Suryamalang.com/Kukuh Kurniawan)