Dirinya mengatakan, harga daging babi turun karena masyarakat takut untuk mengonsumsi karena adanya isu virus ASF ini.
“Kami berupaya memulihkan keyakinan masyarakat untuk mengonsumsi daging babi,” tuturnya.
Dirinya menjabarkan, kematian babi di Bali sampai saat ini masih berada di angka 888 ekor yang terjadi beberapa kabupaten dan kota di Bali.
Kematian ini sangat merugikan masyarakat secara ekonomi. Kerugian ini bisa dihitung dengan memperkirakan harga babi rata-rata di angka Rp 2 juta per ekor kemudian dikalikan dengan jumlah kematian.
Di sisi lain, ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak membuang babi yang mati ke sungai, meskipun dalam situasi tidak ada isu mengenai virus ASF.
“Jangan buang ke mana-mana, sebaiknya dikubur. Jangan dibuang ke sungai, membuang sampah pun ke sungai jangan,” kata dia eks Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali itu.
Babi mati mendadak
Sebelumnya dikabarkan ratusan babi mati di Bali. Penyebabnya ditengarai africa swine fever (ASF) atau demam babi Afrika.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana.
Sebelumnya, sampel darah babi yang mati tersebut dikirim ke Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar, sebelum diteruskan ke BBVet medan.
Dari hasil uji lab diketahui penyebab kematian ratusan babi ada virus afrika.
"Ya ya, ASF penyebabnya. Semua yang 800-an itu," kata Wisnuardhana, saat dihubungi, Rabu (5/2/2020).
Menurut data yang dihimpun tercatat 888 kematian babi milik warga selama kirin waktu akhir Desember 2019 sampai dengan akhir Januari 2020.
Baca: Geger Kemunculan Bangkai Babi di Penatih Denpasar
Dari 9 Kabupaten Kota, hanya 3 wilayah yang nihil kasus yaitu Kabupaten yaitu Buleleng, Jembrana dan Klungkung.