Sejumlah laporan menyebutkan ada beberapa kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta di Indonesia.
BBC News Indonesia merangkum beberapa dugaan tindakan pelecehan seksual yang pernah dilakukan oleh beberapa oknum pendeta di Indonesia.
1. Seorang pendeta gereja di Kota Bekasi berinisial DM diduga mencabuli anak dibawah umur saat berusia 12 tahun hingga melahirkan.
2. Seorang pendeta berinisial IAG di Jawa Timur diduga melakukan pencabulan tujuh orang anak asramanya, lima perempuan dan dua anak laki-laki.
Dia terbukti bersalah melakukan pemerkosaan di tahun 2014 dan divonis 15 tahun penjara pada 2016.
3. Seorang pendeta di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, berinisial HSK diduga memperkosa dan membunuh seorang perempuan yang merupakan jemaatnya dan juga anak angkatnya di kamar mandi gereja pada 2018.
4. Seorang pendeta berinisial BS di Kalimantan Tengah diduga mencabuli tiga anak perempuan di bawah umur dari November 2017 hingga Januari 2018.
Mengapa pencabulan terjadi? Aktivis kemanusiaan dari Paritas Institute yang fokus dengan isu gereja, Woro Wahyuningtyas, mengungkapkan, berkaca dari kasus HL, terdapat setidaknya dua alasan mengapa pelecehan seksual antara pendeta dengan jemaatnya berulang kali terjadi.
Pertama, kata Woro, disebabkan oleh mudahnya seseorang menjadi pendeta di beberapa aliran dalam agama protestan sehingga kualifikasi seorang pendeta menjadi kurang memadai.
"Ada beberapa sekolah teologi yang hanya satu tahun atau bahkan kurang, seseorang sudah menyandang gelar pendeta yang kemudian punya kekuasaan terhadap jemaat-jemaatnya, padahal belum memiliki kualifikasi cukup sebagai pendeta," kata Woro.
Untuk itu, kata Woro, negara harus memperketat regulasi bagi sekolah teologi dalam menabiskan pendeta dan juga syarat kompetensi yang cukup bagi seorang pendeta.
Kedua, kata Woro, tidak adanya pengawasan bagi gereja protestan yang tidak tergabung dalam organisasi besar gereja di Indonesia.
Artinya, kata Woro, seperti kasus HL, ia membuat gereja seperti perusahaan, di mana HL berperan sebagai pemilik gereja, gembala sidang gereja, dan pula sebagai pengawas gereja.
"HL membuat gereja seperti perusahaan. Gembala sidangnya sendiri, tidak ada proses pengawasan yang bisa dilakukan," ujar Woro.