TRIBUNNEWS.COM - Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) telah melayangkan surat pengaduan kepada Kementerian Kesehatan kepada pihak manajemen di sebuah rumah sakit di Kota Palembang.
Diduga pihak rumah sakit telah merugikan pasien cuci darah mandiri (CAPD) dengan tidak diberikannya obat.
Surat pengaduan juga dikirimkan juga ke Komisi IX DPR RI, BPJS Kesehatan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sampai Ombudsman RI atas dugaan tersebut.
Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir mengatakan surat pengaduan telah dikirim lewat pos pada tanggal 29 Juli 2020 lalu ke berbagai lembaga tersebut.
"Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen, Petrus Hariyanto."
"Dan kemungkinan hari ini sudah diterima oleh masing-masing lembaga," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Rabu (5/8/2020).
Baca: Mengenal KPCDI, Komunitas yang Ajukan Uji Materi Terkait Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Tony melanjutkan, awalnya KPCDI pusat menerima aduan dari anggota KPCDI Cabang Sumatera Selatan (Palembang) yang tidak mendapat cairan obat setelah melakukan operasi pemasangan kateter di rumah sakti tersebut.
Ia mengatakan pasien gagal ginjal yang sudah transplantasi itu menjelaskan alasan manajemen menolak pemberian obat karena cairan tersebut belum terdaftar dalam katalog elektronik.
Sehingga rumah sakit tidak bisa memberikan cairan obat kepada pasien.
“Saya sudah komunikasi dengan Dirut rumah sakti bersangkutan melalui pesan WhatsApp, keputusannya kateter si pasien akan diganti dengan produk tertentu secara sepihak sesuai yang tercantum dalam katalog elektronik."
"Kami menilai kebijakan ini justru memberatkan pasien yang harus berulang datang ke rumah sakit di tengah pandemi Covid-19 yang semakin meningkat,” kritiknya.
Tony menambahkan keputusan yang dilakukan oleh rumah sakit milik pemerintah pusat tersebut tidak memiliki alasan logis hanya karena belum terdaftar dalam katalog elektronik.
Baca: Dirut BPJS Kesehatan Masuk di Daftar Best CEO Employees’ Choice Award 2020
“Kami menduga adanya monopoli produk di sana. Harusnya kan sejak awal pasien jangan di operasi kalau cairan tidak dijamin oleh BPJS? Ini kan rumah sakit pemerintah, janganlah mempersulit pasien. Operasinya tetap pakai BPJS, obatnya tidak bisa diakses oleh pasien”, tegasnya.
Tony mengingatkan produk CAPD (termasuk cairan) dapat dilakukan pembelian secara manual sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan kesehatan.
Di sana dikatakan, jika tidak terdapat dalam katalog elektronik maka dapat dilakukan secara manual yang mengacu pada Formularium Nasional.
“Bukan hanya rumah sakit tersebut saja yang melakukan operasi CAPD di Indonesia. Banyak kok rumah sakit yang memberikan cairan obat dengan mudah kepada pasien gagal ginjal seperti rumah sakit Jakarta, di Sukabumi, di Bandung dan lainnya. Ini tidak ada masalah bahkan sangat membantu pasien," imbuh Tony
Terakhir Tony melaporkan para pasien yang mengadu ke KPCDI sampai hari ditolak untuk memperoleh cairan obat dengan cover BPJS Kesehatan.
Baca: Menko PMK Minta BPJS Kesehatan Percepat Verifikasi Klaim Penanganan Covid-19
“Ini kan sama saja mereka harus mengeluarkan uang jutaan untuk membeli cairan setiap bulan dari kantong mereka. Para pasien itu mengeluh tak sanggup lagi, artinya cuci darah mandiri mereka terancam putus, dan akan membahayakan nyawanya karena seumur hidup mereka tergantung pada proses cuci darah itu”
“Maka kami mendesak kepada Menteri Kesehatan, Ketua Komisi IX, Dirut BPJS Kesehatan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Ombudsman RI untuk memberi surat teguran kepada pimpinan RSMH Palembang atas kebijakan yang telah merugikan pasien tersebut,” pungkasnya.
Informasi tambahan, continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) adalah suatu metode pencucian darah selain tindakan hemodialisa bagi pasien gagal ginjal dengan menggunakan selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut (peritoneum) yang berfungsi sebagai membuang racun.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)