TRIBUNNEWS.COM- Gunung Merapi menyimpan banyak cerita bagi masyarakat, pengunjung maupun para penjaga pos pengamatannya.
Seorang penjaga bernama Yulianto, bercerita kisahnya 10 tahun lalu, saat Merapi mengamuk.
Ia sempat tiga kali memotret saat lava pijar mulai muncrat, sebelum akhirnya ia melompat kabur.
Cerita lain dari penjaga bernama Triyono.
Sepekan sebelum meletus dahsyat, Triyono bertugas di puncak Merapi dan merasakan getaran serta dentuman dari dalam perut gunung kerap terdengar.
Sementara itu, penjaga bernama Ahmad Sopari sempat tegang saat gulungan awan panas berbelok ke arah pos pengamatannya.
Mereka kerap terlupakan di tengah krisis maupun situasi normal. Para penjaga pos pengamatan Gunung Merapi. Jauh dari permukiman penduduk, bekerja dalam sunyi, dan di garis terdepan saat gunung itu menggelegak Oktober-November 2010. Inilah suka duka mereka.
Yulianto Keder Melihat Puncak Merah Bertabur Pijar Api
Malam itu, 29 Oktober 2010, komplek PGM Babadan bergetar. Kaca jendela, kaca pintu, bahkan dinding dan lantai seperti berderak-derak.
Dusun Trayem, perkampungan terdekat dari pos Babadan, Krinjing, sudah melompong. Semua penduduknya mengungsi ke arah Sewukan, Talun, Dukun, hingga Muntilan dan sekitarnya.
Itu hari ketiga Merapi mengamuk. Yulianto, petugas pengamatan PGM Babadan ada di kantornya. Ia sekilas melihat nyala api di puncak.
Baca juga: BPPTKG Sebut Gunung Merapi akan Erupsi dalam Waktu Dekat
Baca juga: Gempa dan Turunkan Guguran Lava Makin Sering Terjadi Gunung Sinabung Kabupaten Karo
Baca juga: Sebelum Naik Gunung, Ini 5 Hal yang Wajib Diperhatikan saat Mendaki di Musim Hujan
Di kegelapan malam, ia membidikkan kamera. Tiba-tiba bongkahan hitam sangat besar terangkat seperti didorong kolom api dari bawah. Melambung vertikal sekitar 50 meter, lalu terjatuh lagi.
Lava pijar muncrat, menyelimuti puncak Merapi di segala arah diikuti gulungan awan panas. Langit di atas gunung terang benderang.
Pantulannya menyebar sangat cepat, membuat nyala merah tampak jelas di kaca-kaca pos. Cekrek! Cekrek! Cekrek! Yulianto masih ingat ia tiga kali menembakkan tombol rana, sebelum melompat kabur meninggalkan pos.