“Sempat saya lihat, fotonya jelas ada terekam,” kata Alex, panggilan udara Yulianto. Paginya saat kamera diperiksa, tiga frame foto itu menyisakan warna hitam belaka. Fotonya lenyap tak berbekas.
Itulah satu dari banyak pengalaman dan kisah mendebarkan yang dialami pria yang sudah 28 tahun bekerja sebagai pengamat gunung Merapi.
Yulianto dilahirkan di Tlogolele, 17 Juli 1972. Ia menamatkan pendidikan dasar di SD Tlogolele I, lalu melanjutkan ke SMP Pelita Cepogo Boyolali, sebelum ke STM Sanjaya di Muntilan, Magelang.
Lulus STM, ia bekerja di PT Karya Hidup Sentosa (KHS), produsen traktor Quick di Yogyakarta, sebelum kemudian diterima bekerja di Seksi Penyelidikan Gunung Merapi.
Saat ini Yulianto, atau nama pangggilannya Alex, bertugas di Pos Gunung Merapi (PGM) Babadan, Krinjing, Magelang.
Masa-masa Sulit Triyono di Selo
Kisah berikutnya tentang perjalanan Triyono, petugas pengamat Merapi yang pernah sangat lama ditugaskan di PGM (UGA) Selo.
Ini pos yang dibangun awal pemerintahan Soekarno-Hatta di Boyolali. Pria kelahiran Moyudan (Sleman), 13 Februari 1966, bersentuhan dengan Merapi sejak 1986.
Diawali saat ia bantu-bantu kakaknya, Ratijo, di Pos Srumbung (sekarang PGM Ngepos, Srumbung). Dari bantu-bantu kakaknya itu, Triyono perlahan memahami tugas pengamatan gunung.
Akhir 1989, sesudah lama magang, Triyono direkrut sebagai tenaga honorer, lalu ikut tes CPNS di Bandung. Ia diterima dan sejak itu ditugaskan di Selo.
Awal tugas di UGA Selo menjadi masa-masa sangat berat bagi Triyono. Posnya jauh dari permukiman penduduk. Sarana prasarana masih sangat terbatas.
Suhu udara di pos sangat dingin. Di bulan-bulan tertentu kadang sangat ekstrem dinginnya. Belum urusan pulang pergi tempat kerja dari rumah, bisa memakan waktu seharian penuh.
Transportasi umum belum ada. Triyono biasa mendompleng kendaraan apapun jika pergi atau pulang dari Selo ke rumahnya di Moyudan.
Pengalaman mengesankan sepanjang bertugas adalah jelang letusan besar 2010. Triyono saat itu bertugas di PGM Kaliurang.