Selebihnya, mendaki ke puncak Merapi sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Kaki-kaki Mbah Darmo ini sangat kuat.
Napasnya panjang. Staminanya sulit ditandingi pendaki umumnya. Ia masuk di kelompok petugas di BPPTKG Yogyakarta yang dijuluki “Tim Celeng”.
Pengalaman mendebarkan lainnya, tiga hari sebelum Merapi meletus, tepatnya Sabtu 23 Oktober 2010, Sapari ditemani porter, ternyata masih mendekati puncak Merapi di sisi selatan.
Ia memperbaiki instrumen seismik dan pengukur deformasi di bawah Kendit. Ia merasakan tubuh gunung berderak-derak tanpa putus, menakutkan.
Sapari juga pernah mengalami kejadian campur aduk antara haru, sedih, tapi juga bahagia. 26 Oktober 2011, putrinya yg ke-7.
Sapari saat itu sedang bertugas di puncak Merapi.” Paginya, begitu di puncak, pas di sadel kawah mati, saya buka SMS, ternyata istri saya sudah melahirkan,” kenang Sapari.
Anak ragil atau bungsu Sapari dan Firyana itu diberi nama Nuriza Savriani. Malamnya, setelah turun dari puncak, Sapari baru bisa menengok istri dan putri mungilnya itu di klinik bersalin.
Pengalaman jauh dari keluarga di saat-saat genting seperti itu dianggapnya risiko pekerjaan. Sapari dlahirkan di Tanjungenim, Sumatera Selatan, lalu sekolah STM di Yogya.
Lulus bidang elektronika 1995, ia jadi tenaga honorer di Kantor Seksi Penyelidikan Merapi. Sapari ikut tes CPNS Direktorat Geologi Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM pada 2004.
Letusan Merapi Oktober-November 2010, di mata Sapari memang tidak pernah terbayangkan besarnya. Ia juga tidak pernah membayangkan akan sedemikian dahsyat kekuatannya.
Seminggu sebelum letusan, Sapari ikut tim 7 ke puncak. Ia duduk, berdiri, melangkah di permukaan kawah Merapi, merasai getaran demi getaran gunung yang sudah menggembung itu.
(Tribun Jogja/Krisna Sumargo)