Keduanya akhirnya bersalaman di Pos Plawangan, saling berucap syukur dalam kondisi selamat.
Menurut Panut, kondisi Pos Plawangan relatif utuh. Hanya terpapar abu vulkanik cukup tebal.
Sebagian bercampur pasir panas.
“Saya tidak merasakan ternyata tengkuk saya terkena pasir panas.
Beberapa hari kemudian luka seperti terkena herpes,” kenang Panut yang dilahirkan di Kaliurang, 5 Oktober 1953. Ia memulai sekolah di SD Kaliurang I, satu-satunya sekolah yang ada di kawasan Kaliurang kala itu.
Saksi Hidup Letusan Gunung Merapi
Panut dan Giyoto jadi saksi hidup menit-menit letusan besar Merapi 22 November 1994.
Letusan pertama luncuran awan panas sejauh kira-kira 3 kilometer.
Letusan kedua sekira 4 kilometer.
Letusan ketiga paling besar. Jarak luncur awan panas mencapai 6,5 kilometer.
Peristiwa yang dimulai pukul 10.15 WIB itu tercatat menewaskan sekira 68 orang, menghanguskan permukiman penduduk di Dusun Turgo dan sebagian area Kaliurang Barat.
Setelah tiba di Pos Plawangan, Panut dan Giyoto berbagi tugas.
Giyoto mencatat luncuran awan panas dan mengamati visual lain.
Panut naik ke loteng pos, memotret rangkaian letusan dan luncuran awan panas Merapi.
Baca juga: Tinjau BPPTKG Yogyakarta, Doni Monardo Monitor Perkembangan Gunung Merapi
Sekitar pukul 12.00 WIB, dua petugas lain muncul hampir bersamaan.
Mereka terdiri atas Suramto dan Sunarto.
Keempatnya segera berbagi tugas.
Ada yang mencatat, mendokumentasikan, serta mengemasi sejumlah perangkat jika sewaktu-waktu harus meninggalkan pos tersebut.
Tak lama kemudian, muncul Dedi H Purwadi, fotografer Harian Bernas.
Di Pos Plawangan akhirnya ada 5 orang yang menyaksikan momen-momen mendebarkan saat awan panas Merapi meluncur tak henti-henti ke arah barat daya.
Telepon di pos berdering. Panggilan datang dari pejabat di Pusat Vulkanologi di Bandung.
Menurut Panut, semua petugas di Pos Plawangan diminta agar segera turun ke Kaliurang jika situasi dipandang tidak aman.
“Kami mengatakan, tetap di pos, karena tahu di puncak ada Pak Sukhyar, Bu Sri, Bu Dewi dan beberapa petugas dari Yogya,” kata Panut.
Di hari letusan itu, tim Bandung dan Seksi Penyelidikan Merapi ternyata mendaki ke puncak. Survei dan pengamatan visual.
Dr Sukhyar kelak jadi Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, yang membawahkan Pusat Vulkanologi di Bandung.
Panut, Giyoto, Sunarto, dan Suramto, akhirnya mengemasi peralatan dan sejumlah perangkat penting. Menjelang pukul 15.00 WIB, mereka akhirnya memutuskan turun.
Fotografer Harian Bernas Dedi H Purwadi berada di antara mereka, dan ikut turun bersama-sama menuju Kaliurang.
Gemuruh dari puncak Merapi masih terdengar.
Luncuran awan panas juga terus terjadi susul menyusul.
Menurut Panut, kekuatan dan jarak luncurnya terus berkurang.
Puluhan Orang Tewas Bergelimpangan
Di seberang Kali Boyong, tepatnya di Dusun Turgo, petaka mengerikan terjadi.
Puluhan orang bergelimpangan tewas.
Korban paling banyak ditemukan di rumah seorang warga yang saat itu menggelar hajat pernikahan Marijo dan Wantini.
Permukiman di Dusun Tritis, Ngandong, Turgo, dan Tegal, porakporanda.
Turunnya ke-4 petugas Pos Plawangan itu menandai babak bersejarah pengamatan Merapi.
Pos situ ditutup selama-lamanya atas pertimbangan risiko keamanan.
Pengamatan kemudian dilakukan dari Kaliurang hingga sekarang. (Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Letusan Merapi 22 November 1994 Terjang Turgo, Panut Berlari Mendaki ke Pos Plawangan,