TRIBUNNEWS.COM - Sebuah keluarga miskin tak ada biaya untuk mengontrak dan kerap dipandang rendah oleh orang lain hingga memutuskan untuk hidup di hutan.
Keluarga Oloandi Pulungan (32) itu kini hidup di tepi hutan Desa Sipangko, Kecamatan Angkola Muaratais, Kabupaten Tapanuli Selatan.
"Di kampung pun dulunya ngontrak, ini pun kita punya lahan di sini ada pondok punya paman,"ujar Oloandi, bapak beranak dua itu dibantu Azan Sinaga seseorang yang peduli keadannya dan mau meminjamkan sambungan telepon kepada Oloandi.
Cerita Oloandi, selama ini tidak pernah memperoleh bantuan sosial, meski sudah didata berkali-kali untuk penerima bantuan terdampak Covid-19. Oloandi hingga kini belum juga memperoleh bantuan sosial.
Baca juga: Bayi Baru Lahir Menangis Lalu Dipukul hingga Tewas, sang Ibu Buang Buah Hatinya Dekat Kandang Ayam
Sehari-hari, Oloandi menghidupi Sila istrinya dan kedua anaknya menjadi buruh panjat kelapa, bertarung dengan gocangan angin.
Selesai pada hidup serba kekurangan bukan saja yang dialami Oloandi.
Hal pahit harus diterima keluarga Oloandi, karena mereka dipandang remeh oleh para tetangga dengan kondisi ekonomi yang begitu lemah.
Tak tahan selalu dipandang rendah, Oloandi lantas memboyong anaknya ke Tepi Hutan Tapsel yang terkenal dengan Binatang Buas.
"Karena kita ini orang susah dan miskin yang enggak punya apa-apa jadi dipandang sebelah mata dan diejek-ejek. Enggak tahan lagi dengan ejekan-ejekan itu, terpaksa awak pergi menyendiri di pinggir hutan ini," terang Oloandi.
Baca juga: Tubuh Terlempar di Kolong Truk Tangki yang Melaju, Pasutri di Samarinda Tewas Mengenaskan
Kini, Oloandi hidup di pinggir hutan Kecamatan Angkola Muaratais.
Hidup di dalam gubuk berlantai tanah, dengan dinding yang gampang ditembus.
Bersama anak dan istrinya, buruh panjat kelapa setiap malamnya tidur dengan alas karpet seadanya.
Ancaman gigitan nyamuk hutan dan binatang buas lainnya tak lagi dia hiraukan.
Melewati malam tanpa lampu penerangan juga sering dialami keluarga tersebut. Selain karena memang tidak ada listrik tersambung ke Gubuk pamannya tersebut, Oloandi tak punya cukup uang membeli lilin.