Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto
TRIBUNNEWS.COM, MAJALENGKA - Suasana sepi menghinggapi sebuah perkampungan yang berada di Blok Tarikolot, Desa Sidamukti, Majalengka, Jawa Barat.
Rumah-rumah di perkampungan tersebut ditinggal begitu saja oleh para penghuninya.
Kesan menyeramkan dan angker pun muncul saat waratawan Tribuncirebon.com menyusuri perkampungan tersebut.
Jumlah binatang seperti anjing maupun ayam lebih banyak terlihat dibanding kehidupan manusia.
Jalan yang berlumpur, ditambah suara khas hewan hutan tampak terus terngiang.
Baca juga: Lokasi Bencana Pergerakan Tanah di Blok Tarikolot Majalengka Kini Jadi Kampung Mati
Bangunan rumah juga banyak tampak terbengkalai.
Kesan kotor dan kumuh menambah kesan angker di area tersebut.
Sementara, pintu-pintu rumah dan jendela telah dimakan rayap.
Jendelanya terbuka dan baut engselnya sudah banyak yang lepas.
Adapun, cat-cat dindingnya mengelupas, buram.
Diketahu, sebelum menjadi 'Kampung Mati', perkampungan tersebut sebetulnya dihuni ratusan kepala keluarga.
Baca juga: Komisi VIII DPR RI Tinjau Lokasi Bencana Pergerakan Tanah di Majalengka
Namun bencana pergerakan tanah yang terjadi di perkampungan tersebut membuat warga memilih pindah dan meninggalkan rumahnya.
Karwan, Kepala Desa (Kuwu) Sidamukti, menceritakan bagaimana bencana tersebut terjadi.
Peristiwa itu masih membekas dalam ingatannya.
Menurut dia, pergerakan tanah skala besar di Blok Tarikolot membuat ratusan bangunan rumah rusak.
Bencana longsor besar yang menimpa permukiman di Blok Tarikolot Majalengka tersebut terjadi pada 2006 silam.
"Sejak saat itu, tercatat sebanyak 253 Kepala Keluarga (KK) di blok tersebut direlokasi ke Blok Buahlega oleh pemerintah setempat pada 2009 sampai 2010," ujar Karwan kepada Tribuncirebon.com, Selasa (2/2/2021).
Karwan menjelaskan, ada 180 rumah yang rusak karena pergerakan tanah dan tak sedikit pula rumah yang tertimbun reruntuhan.
Baca juga: Pria di Majalengka Tega Cabuli Anak Kandungnya Sendiri di Lokalisasi, Begini Kronologinya
Rata-rata kejadian longsor pada pukul 18.00 WIB sore.
Namun, tak ada korban jiwa setiap kali terjadi pergerakan tanah.
"Sejak longsor besar kami berinisiatif merelokasi ini program pemerintah desa dan Pemkab Majalengka," ucapnya.
10 tahun kemudian, atau tepatnya 2016, sambung dia, bencana pergerakan tanah skala besar kembali terjadi.
Saat itu, masih ada sekitar 20 kepala keluarga yang memaksa memilih tinggal Blok Tarikolot, karena alasan dekat dengan lahan pertaniannya.
Namun, lambat laun, para warga itu akhirnya menerima untuk direlokasi.
"Waktu bencana besar tahun 2016 masih ada 20 KK memilih tinggal tapi saat itu bencana besar akhirnya warga berhasil dibujuk untuk relokasi. Sekarang tersisa delapan KK tinggal itu juga kadang tidak menginap," jelas dia.
Disinggung terkait banyaknya warga yang meninggalkan tempat tinggalnya itu, Karwan menambahkan, bahwa wilayah tersebut masuk ke dalam zona merah bencana.
Hal itu diperkuat dengan adanya data hasil penelitian badan geologi Kementerian ESDM.
"Data badan geologi setiap 20 tahun sekali ada pergerakan tanah atau longsor. Bahkan tiap detik tanah tersebut juga bergeser kecil. Cirinya kalau musim hujan tidak ada air mengalir atau keluar ke tanah berarti khawatir akan terjadi longsor besar kalau keluar air mengalir berarti longsor kecil," katanya.
8 KK masih bertahan
Hingga saat ini masih ada delapan KK yang masih menempati wilayah yang kian hari makin menyeramkan.
Salah satunya, Karmidi (65) yang sudah 36 tahun lamanya menempati Blok Tarikolot tersebut.
Ia mengatakan, dirinya dibawa mendiang istrinya untuk tinggal di blok tersebut.
Saat itu, kampung istrinya itu sangat asri dengan latar kehijauan khas daerah pegunungan.
"Sebelum masuk zona merah, kampung saya enak. Adem, sejuk, khas pegunungan," ujar Karmidi kepada Tribuncirebon.com, Rabu (3/2/2021).
Namun, kemudian tahun 2006 lalu, bencana dahsyat pergerakan tanah membuat dirinya sangat khawatir.
Baca juga: Pelabuhan Patimban Lengkapi Fungsi BIJB Kertajati di Majalengka
Saat kejadian sore hari itu, ia mendengar suara gemuruh yang sangat keras dari arah Utara.
"Ternyata ada gerakan tanah. Bencana itu juga membuat rumah yang berada di lereng rusak dan banyak tertimbun. Untungnya, saya mah rumahnya di tempat yang datar," ucapnya.
Ia mengaku, usai peristiwa itu, banyak tetangganya yang langsung pindah meninggalkan rumahnya.
Takut ada bencana susulan menjadi alasan utamanya.
"Tapi karena saya sudah betah, cinta kampung istri saya, saya tidak pindah. Di samping itu, saya juga punya ladang pertanian, kalau pindah jauh," jelas dia.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di Tribuncirebon.com dengan judul Cerita Karmidi Memilih Tinggal di 'Kampung Mati' Majalengka, Terlanjur Cinta Kampung Mendiang Istri